Minggu, 30 Desember 2018

Benci Pada Pandang Pertama

Apa yang harus aku banggakan dari tempat di mana aku di sekolahkan? Apakah struktur bangunan tersebut? Atau siswa-siswi yang mengemban studi di sana? Ataukah para guru? Atau pula para penghuni sekolah lainnya?

Entahlah, aku merasa terintimidasi ketika kali pertama aku menginjakkan kaki di tempat itu, tepatnya kala aku menduduki bangku kelas 2 SMA dan aku merupakan murid baru yang datang dari desa. Suasananya seperti penjara. Mereka; para siswa-siswi di sana melemparkan tatapan tajam dan sinis ketika aku memasuki kelas. Seakan aku adalah raksasa dan dilarang keras untuk memasuki ruangan itu.

Aku lalu berjalan menuju tempat duduk yang masih kosong. Nahasnya, aku malah jatuh tersandung akibat ulah kaki seorang gadis bernama Cathy yang menutupi jalanku. Ia terkenal sebagai ketua cheerleader, prestasi cheerleader di sekolah baruku melonjak drastis sejak ia menjabat menjadi ketua, bersamaan dengan waktu di mana aku baru menginjakkan kaki di sekolah itu. Sayangnya, gadis itu sangat licik dan tak henti-hentinya membuatku malu dihadapan orang lain. Tingkah pacarnya yang bernama Ken, juga tak jauh beda dengan gadisnya. Tak ada hari tanpa mencemooh. Bahkan aku bisa jelaskan, setiap hari aku mendapat pesan yang tak sedap datang dari penjuru kelas. Pasangan sejoli itu merupakan pasangan terbaik dalam membully dan aku
menyadari, tubuhku memang tidak ramping dan ideal seperti gadis lain. Tak cantik pula seperti Cathy, aku hanyalah gadis desa yang jauh dari kata "kekinian."

Kata mereka, aku memiliki bau badan yang tak sedap. Mereka hanya tidak tahu-menahu tentang diriku. Namun, beruntungnya aku mempunyai Aline, ia adalah sahabatku. Satu-satunya orang yang berbaik hati ingin berteman denganku. Ia menyanggah perkataan Cathy dan pacarnya bahwa diriku harum seperti aroma vanilla. Memang betul, vanilla adalah parfum favoritku. Mungkin hidung mereka sedang tersumbat, maka dari itu yang bisa mereka lakukan hanya menghujat tanpa henti. Lalu, Aline pun tak segan untuk menghajar siswa pria yang menggangguku di sekolah. Jangan salah, ia memegang kuasa sabuk hitam di ekskul karate. Ia pernah bilang padaku bahwa jangan pernah membuat tindakan tak seronok padanya ataupun jika ada yang menyakitiku, orang itu akan ia habisi. Aku tertawa mendengarnya, aku merasa bahwa akhirnya ada orang yang begitu menyayangiku seperti dirinya. Kalau begitu, kau pasti mengira aku orang yang lemah sehingga hanya memanfaatkan lindungan dari sahabatku, kan? Tidak, aku tidak lemah. Aku bahkan hampir meninju wajah kekasih Cathy karena ia sudah bersikap keterlaluan. Namun gagal karena lagi-lagi, si gadis manja kesayangan Ken telah lebih dulu membekap mulutku agar tidak melapor kejadian ini. Sungguh memalukan!

Sekali lagi, apa yang harus aku banggakan dari tempat di mana aku di sekolahkan? Tak ada. Selain hanya prestasiku pribadi, kemudian tatapan tajam. Sementara kekalutan dalam pikiran terus-menerus melanda jiwa saat kali pertama aku menemui wajah-wajah itu.

#30DWC #30DWCJilid16 #Day21

Sabtu, 29 Desember 2018

Asing yang Tak Asing

Terlihat pria berusia sebayaku sedang mengelus-elus kucing peliharaannya sembari menggelitiki hewan mungil tersebut. Ia tinggal di samping persis rumahku berada. Tubuh kucing itu menggeliat kegelian saat dikelitiki olehnya. Tiap pagi, diam-diam aku selalu memperhatikan pria itu mengajak kucingnya bermain sebelum berangkat kuliah. Ia mengajak kucingnya mengitari komplek dengan sepeda, lalu ia taruh hewan tersebut di keranjang depan yang tertera pada sepedanya. Kucing itu sangat cantik dengan bulunya yang berwarna abu-abu lebat. Mata besarnya yang kehijauan membuat siapa saja gemas oleh kecantikan kucing itu. Aku sendiri bukanlah orang yang gemar menyukai hewan, namun aku mengakui gemas dengan dengan pemiliknya, apalagi kucing yang dimilikinya. Namun, aku sama sekali tidak mengetahui siapa nama pria itu walaupun rumah kami bersebelahan. Kebetulan, ia adalah warga asing yang baru pindah tepat di samping rumahku. Biar begitu, pendiriannya sangat dingin dan pendiam—lebih pendiam dari diriku. Aku tidak pernah bisa menebak jalan pikirannya. Namun satu hal yang harus kau tahu, kau pasti akan terlena dengan senyuman pria itu ketika dirinya tak sengaja menatap ke arahmu lalu tersenyum. Oh, aku berani bertaruh, senyumnya sangat manis seperti gulali!

Lalu, aku menyadari ada kejanggalan setelah seminggu ini tidak melihat dirinya bermain dengan kucing peliharaan itu. Aku mencoba melongok rumahnya, sepi. Tidak ada tanda kehidupan. Pekarangan rumahnya juga kotor dipenuhi oleh sampah dedaunan yang berserakan. Ke manakah dirinya? Pintu rumahnya pun digembok menandakan tidak ada orang di dalam. Aku penasaran, ke mana perginya pria itu? Apakah ia pindah rumah lagi? Tapi mengapa? Aku rindu melihat dirinya bermanja-manja dengan kucing tersebut. Pria itu seakan memberiku semangat walaupun aku hanya bisa memperhatikannya dalam diam. Aku belum ingin berpisah dengannya, aku masih ingin melihatnya. Aku belum siap kehilangannya.

Tiba-tiba terdengar suara ibu-ibu memanggil namaku dari kejauhan. Ia menghampiriku yang masih berdiri di depan rumah pria itu. Rupanya, ia memberi tahu bahwa pria itu sedang terbaring lemah di rumah sakit dan kucing peliharaannya mati terlindas mobil tiga hari yang lalu. Aku langsung lemas begitu mendengarnya. Entah mengapa, hal itu membuatku sedih, padahal aku tidak mengenalinya. Kemudian ibu itu berkata lagi bahwa pria itu tidak akan kembali ke rumah itu. Pupuslah sudah harapanku sekarang, ibu itu tidak mau memberitahuku di mana pria itu dirawat. Katanya pria itu butuh ketenangan, tidak mau diganggu karena ayah ibunya baru saja bercerai dan ia memilih untuk tinggal dengan ibunya. Aku hanya bergeming, menatap ibu itu lalu memeluknya. Aku hanya bisa mendoakannya dari sini agar pria itu selalu dalam keadaan baik-baik saja. Tak lupa kutulis sebuah puisi di selembar kertas dan kubentuk menjadi seekor bangau nan indah. Kutitipkan kertas puisi bangau itu pada ibu tersebut agar ia terbang menemuimu, agar senyum bahagia senantiasa mewarnai harimu selalu.

#30DWC #30DWCJilid16 #Day20

Jumat, 28 Desember 2018

Sahabat Laki-Laki

Ia tak lagi sehangat dulu,
ketika kami berada di satu lingkup yang sama, ia adalah satu-satunya sahabat lelaki yang paling kupercaya.

Ia sudah kuanggap sebagai keluargaku sendiri, bahkan kami selalu merayakan hari ulang tahun bersamaan. Kebetulan, hari ulang tahun kami hanya berbeda sepuluh hari di bulan yang sama namun ia lebih tua dariku. Maka aku menganggapnya sebagai seorang kakak.

Ia juga selalu melindungiku dari hal apa pun yang membahayakan. Ia selalu ada di saat aku butuh, jika suatu ketika aku butuh bantuan, tanpa ku suruh pun ia akan langsung datang menolongku. Ia satu-satunya yang mempercayakan semuanya padaku. Ia juga paling bisa membuatku tertawa setelah kekosongan dan kesenduan menghabisi jiwaku hingga babak belur. Kami bahkan tidak pernah terpikirkan untuk saling mencintai satu sama lain lantaran hubungan kami laiknya sepasang saudara.

Aku sangat mengenal seluk-beluk keluarganya, begitu juga ia padaku. Aku sangat beruntung dan bersyukur telah ditemui oleh dirinya. Aku sangat mengenal dirinya lebih dari siapa pun.

Namun, hal buruk harus terjadi.
Ia berpaling menjadi sosok yang tidak kukenal semenjak ia mengenal gadis berambut pendek itu. Aku berani bertaruh, ia menyukai gadis itu sehingga lambat laun ia mulai melupakanku yang notabene adalah sahabatnya yang selalu ada dalam suka dan duka.

Ia tak pernah lagi hadir saat aku mulai rapuh, bahkan ia yang menjadi penyebabku menangis akhir-akhir ini. Ia berubah semenjak dirinya mulai mengenal cinta—lebih tepatnya setelah mengenal gadis itu. Sampai sekarang, hubungan kami belum membaik. Aku belum bertegur sapa dengannya, gadisnya sangat iri denganku. Ia menjelaskan pada gadisnya bahwa ia pernah mempunyai sahabat terindah sewaktu duduk di bangku SMA. Lagipula, itu hanyalah masa lalu. Jarak tempat tinggal kami sekarang beribu-ribu meter. Ia memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya di luar kota. Namun, biarlah. Tak ada yang tersisa setelah kepergian. Kenangan indah tersebut telah digerogoti kesedihan di akhir cerita, tentang sebuah ketidak-ikhlasan hati yang terikat keegoisan. Biar dirinya tinggal di dalam hermitage mimpi setiap malam, dengan frasa di ujung pagi yang berkontribusi dengan lagu-lagu yang mematahkan hati.

#30DWC #30DWCJilid16 #Day19

Kamis, 27 Desember 2018

Laut Mengamuk, Semesta Bersedu

Kala itu, laut belum mengamuk dan belum menghancurkan segala yang ada di kota Banten. Masih terdengar kicauan burung yang bernyanyi di dahan pohon. Siang itu, suasana di Villa sangat nyaman. Aktivitas warga dan juga pesisir pantai masih dilakukan seperti biasanya. Namun memang, saat itu anak krakatau statusnya sudah memberi peringatan. Kulihat beberapa tim penggalang bencana sudah merencanakannya dari jauh-jauh hari di sebuah lapangan besar yang terdapat di Serang. Khawatir jika suatu waktu akan terjadi bencana.

Sampai akhirnya, laut mengamuk dan ombak datang menerjang apa pun yang terdapat di kota itu termasuk Villa kesayanganku yang selalu kukunjungi tiap tahun. Ia datang disela-sela malam dan mencuri kesempatan sewaktu orang sedang terlelap dengan nyenyaknya. Ia melenyapkan jiwa-jiwa yang tak berdosa, meruntuhkan bangunan-bangunan kokoh yang sudah berdiri rapi di tempatnya, dan sebagainya. Laut hanya sedang mengamuk, nanti juga ia damai sendiri. Namun, khalayak setempat yang jadi imbasnya, mereka berduka atas amukkan laut yang menggebu dan meruntuhkan segalanya. Terlalu banyak kenanganku di kota ini terutama di Pandeglang.

Pantai yang selalu kucintai, yang selalu kukenang dalam hati, yang selalu menjadi hal utama ketika aku berkunjung ke sana, kini telah hancur lebur akibat amukkan laut dengan gelombang raksasanya itu. Lekas sembuhlah, aku selalu mendoakanmu. Semoga kau cepat pulih jika kau terluka. Karena kau adalah pelarian terindahku.

#30DWC #30DWCJilid16 #Day18

Rabu, 26 Desember 2018

Perbincangan Mengenai Logika dan Hati

Seringkali kita terjebak dalam emosi perasaan. Masih jarang orang melibatkan logika dalam sebuah hal pertikaian. Seperti halnya kalau berbicara logika 'jatuh itu sakit', tapi kenapa orang-orang begitu suka jatuh cinta?” Pertanyaan itu meluncur dari salah satu gadis yang merupakan korban dari jatuh cinta diam-diam. Ia merupakan temanku yang seringkali jatuh hati berulang kali namun tetap nihil hasilnya.

“Logika tidak pernah mengerti dengan perasaan, tapi perasaan dipaksa untuk mengerti dengan logika,” jawabku yang seolah seperti motivator cinta.

"Berarti logika itu egois. Ia hanya mementingkan diri sendiri dibanding perasaan. Tidak mau mengerti pula memahami."

"Perasaan pun begitu. Ia hanya mau merasakan tanpa mau berpikir. Seringkali ia hanya ingin dimengerti namun tidak memikirkan yang lain."

"Siapa yang lebih jahat kalau begitu?" Ia bertanya dengan nada yang sewot.

"Keduanya."

"Mengapa?"

"Karena logika tidak mau memahami dan hanya memaksa perasaan. Sedangkan perasaan hanya mau dipahami, namun tidak mau memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya."

"Ini tidak adil."

"Hei, pernahkah kamu merasa bahwa jemalamu sedang terpecah-belah akibat akal negatif yang merusak segalanya dan hati yang terus dipaksa untuk memahami akal? Aku sering seperti itu. Kepalaku seperti berantakan tak karuan, ditumbuhi oleh pekikan yang sahut-menyahut, lalu hati hanya diam merasakan gundah akibat ulah akal yang kelewat batas. Semua itu ada kelebihan dan kekurangan. Begitu juga logika dan perasaan."

"Bagaimana cara mengimbanginya?"

"Mulailah dengan membangun hal-hal kecil. Dengan melihat bencana alam, hatimu tergerak ingin memberikan sumbangan. Begitu pula kerja akal akan memerintah agar segera membantu mereka yang sedang kesusahan. Sekarang, kau ingin memiih siapa di antara keduanya? Logika atau hati?"

"Baiklah, aku akan memilih keduanya."

#30DWC #30DWCJilid16 #Day17

Selasa, 25 Desember 2018

Hujan Bercerita

Hujan kali ini belum juga berhenti sedari tadi. Tak apa, biarkan saja. Ia sedang bercerita pada langit tentang seorang gadis yang lelah didekap sepi. Ia bercerita lewat rintiknya yang dijatuhkan ke bumi. Kau tahu, kan? Jatuh berkali-kali itu sakit. Namun, hujan tetap tak menggubrisnya. Ia masih melanjutkan ceritanya kepada langit. Sedangkan langit hanya mendengarkannya. Sesekali gemuruh petir dari langit mewarnai obrolan mereka dengan kilatnya. Awan kelabu menjadi hiasan agar perbincangan mereka semakin hidup. Sementara di bumi, orang-orang mulai berlomba untuk berteduh, tak mau kehujanan. Katanya takut sakit. Padahal, sesekali mereka juga harus merasakan sakit. Sebagian dari mereka juga ada yang membenci hujan. Katanya, hujan itu menjadi menghambat setiap aktifitas. Namun, mereka hanya tidak pernah merasakan kedamaian ketika berdiam diri di tengah hujan. Membiarkan dirimu kuyup dibasahi oleh tiap air yang turun dari langit, sehingga kau bisa bersembunyi di bawah hujan ketika kau menangis.

Lantas, tujuan hujan datang kali ini bukan tentang kenangan. Melainkan membawa sebuah pelukan  hangat untuk gadis itu. Ia titipkan peluknya pada bumi yang akan mendekapnya secara langsung.

#30DWC #30DWCJilid16 #Day16

Senin, 24 Desember 2018

Juang

Teruntuk kamu yang sedang dilanda musibah. Teruntuk kamu yang sedang berjuang melawan monster yang terus berperang dalam jemalamu. Teruntuk kamu jiwa-jiwa yang rapuh.
Teruntuk kamu yang sedang berjuang melawan penyakit.
Teruntuk kamu yang sedang tidak baik-baik saja.

Pesan ini kusampaikan sembari menyemogakan keadaanmu agar dapat kembali seperti semula. Juga senyummu yang sempat hilang agar dapat tersungging kembali di wajah manis itu.

Aku yakin, dirimu adalah jiwa yang kuat sekuat baja. Aku yakin, dirimu pasti bisa melewati berbagai ujian yang telah dimuntahkan semesta karena kekecewaannya pada bumi. Aku yakin, kamu pasti bisa melewati semua masa-masa pahit yang telah atau pernah terjadi pada kehidupanmu. Aku yakin, monster yang terus-menerus meneriakimu dalam jemala hanya sedang mengajakmu bercengkrama lewat desisannya yang sering membuatmu pusing kepala. Aku yakin, semesta hanya sedang lelah. Jadi, ia muntahkan keseluruhan amarahnya pada bumi yang masih polos.
Sebenarnya, bumi kita ini sudah tidak begitu polos lantaran beberapa dari manusianya sering berbuat semena-mena pada alam. Namun kuyakin semua pasti akan baik-baik saja pada akhirnya. Terkadang kita semua hanya butuh waktu untuk kembali memulihkannya seperti sedia kala.

Tak apa-apa jika kamu merasa lelah, ingin menumpahkan amarah lewat tangisan. Menangis bukan berarti kamu lemah. Kamu hanya tak bisa menampung semua emosi yang sudah tidak dapat lagi tertampung dalam hati. Terkadang dirimu juga butuh rehat dari segala yang membuat pikiranmu kalut. Tak apa, setidaknya tubuhmu sempat berjuang melawan semua yang pernah hinggap dalam sanubari. Menangis adalah pelarian paling mudah, jadi menangislah bila kamu ingin menangis. Tak perlu malu, kamu sudah berjuang sekuat tenaga selama ini. Kamu sudah dipilih semesta untuk dijadikan orang yang kuat. Tatkala kegagalan menghampirimu, itu bukanlah hal buruk yang perlu dirundungi terus-menerus. Justru belajarlah dari kegagalan, dari kegagalan, kita semua bisa bangkit dan berlomba untuk memperbaiki masa kelam.

Jadi, teruslah bangkit dan kembali berjuang melewati semua hal yang telah atau pernah terjadi. Jangan lupa, sertakan doa dan senyummu di setiap kegiatan. Karena di situlah letak semangat yang akan melengkapi hari.

#30DWC #30DWCJilid16 #Day15

Sabtu, 22 Desember 2018

Ibu

Jika berbicara perihal ibu memang tiada yang bisa menandingi. Kasih sayangnya adalah jiwaku, di mana setiap belaiannya terdapat kebahagiaan yang selalu kudapatkan setiap saat. Ia selalu mengecupku dengan lembut tiap akan berangkat kerja bersama ayah. Seakan aku bagai mendapat energi positif tiap kali ia mengecup dahiku dengan kasih sayang. Ia adalah pelita dalam hidupku, ia malaikatku dan ia adalah napasku.

Aku tahu, ia sangat mencintaiku lebih dari segalanya. Melebihi ia mencintai dirinya sendiri. Ia rela melakukan apa pun asal aku bahagia. Ia rela melakukan semuanya bahkan apa yang tak sanggup untuk kuberikan padanya. Mungkin, jika dunia kuberikan kepadanya, itu tidak akan cukup untuk membalas jasa budi dan segala pengorbanan yang telah dilakukan hanya untukku.

Aku mengenalnya, ia adalah sosok tegar, kuat, dan ramah. Ia mengajarkanku untuk tersenyum kepada siapa saja agar tidak terkesan angkuh katanya. Ia juga mengajariku apa arti kehidupan yang sebenarnya dan tak henti-hentinya ia mendorongku untuk selalu menjadi orang yang kuat menjalani kehidupan yang terkadang tak adil dan suka mengecam tiap sanubari yang sedang lemah jiwanya sepertiku. Ia tak pernah memaksaku untuk menjadi orang yang sempurna, ia hanya mau aku dipandang baik dan dihargai oleh orang di sekitar. Ia mengajarkanku untuk menjadi dirimu sendiri, bukan untuk menjadi diri orang lain.

Beberapa hal yang aku ingin ucapkan padanya, aku ingin meminta maaf. Maafkan aku bila sering membuatmu marah, sedih, bahkan kecewa pada waktu yang bersamaan. Maafkan aku bila seringkali terlontar beberapa patah kata yang membuatmu sedih. Maaf bila terkadang aku tidak mematuhimu. Maafkan aku juga yang terkadang selalu menunda-nunda waktu jika kau memintaku untuk melakukan sesuatu. Aku hanya bisa meminta maaf jika terkadang malaikat kecilmu ini hanya merepotkanmu.

Sulit bagiku untuk mengatakan hal ini padanya, tetapi jauh dari lubuk hati yang paling dalam, aku sangat menyayangimu, ibu. Aku mencintaimu dan aku berjanji bahwa suatu saat nanti, akan kubalas semua jasa berharga yang pernah kau lakukan untukku. Kau pasti akan bangga padaku.

#30DWC #30DWCJilid16 #Day14

Jumat, 21 Desember 2018

Harapan

Aku ingin tahu, siapa di antara kalian yang tidak pernah menaruh harap? Kuyakin sebagian besar orang pasti mempunyai harapan. Entah itu kepada dambaan hati, kepada hidup, kepada takdir, apa pun itu. Aku sendiri juga mempunyai harapan, banyak sekali. Apalagi di penghujung tahun seperti ini. Biasanya, banyak orang yang berharap bahwa di tahun yang akan datang, mereka akan mencapai targetnya. Namun, jika kita hanya bergantung pada sebuah harap tetapi tidak melaksanakannya dengan tindakan, ya sama saja bohong. Sampai kapan pun, harapan itu tak akan pernah terwujud.

Jika kau ditanya, "apa harapan terbesar dalam hidupmu?" Bagaimana kau menjawabnya? Jujur, aku sendiri juga bingung. Banyak sekali harapan yang tidak bisa kuhitung satu-persatu. Bahkan terkadang harapan itu membuatku sakit ketika mengingatnya. Mengapa? Terlalu banyak yang kunanti sehingga hanya menjadi angan-angan dalam benak. Aku memang suka sekali berkhayal tentang yang tak pasti. Entah itu menjadi princess yang cantik jelita, peri yang bisa terbang, lalu bisa duduk di atas permadani bersama Aladdin. Harapanku memang aneh. Namun, aku sadar, itu hanyalah harapan dan khayalan belaka. Sampai kapan pun hal itu tidak akan pernah terwujud.

Baiklah, aku akan menjawab pertanyaan itu sendiri. Harapanku tidak muluk-muluk. Aku bisa lulus kuliah di tahun depan, aku bisa mempunyai sebuah buku karyaku sendiri, aku bisa mengurangi rasa gelisah yang timbul dari energi negatif dalam diriku dan semacamnya. Oh iya, mengenai dirinya? Sesungguhnya, aku tidak bisa menaruh harap. Aku tidak mau menaruh harap berlebih pada seseorang yang belum tentu nantinya akan menjadi milikku. Biar saja rasa ini berkelana sendirian. Toh, jika sudah waktunya, ia akan menetap di hatiku tanpa kupinta.

Jadi, sudahkah kamu berharap? Apa harapanmu? Bolehkah aku mengetahuinya?

#30DWC #30DWCJilid16 #Day13

Dikara

"Tolong ajari aku bagaimana cara menulis sebuah cerita ber-happy ending. Aku terlalu sedih sehingga lupa bagaimana caranya bahagia," pintanya disela pembicaraan kami yang tak terlalu serius.

Aku berpikir sejenak, mencari ide untuk menjawab. Padahal aku sendiri juga tidak mengetahuinya, "hmm, coba pikirkan sesuatu yang membuatmu bahagia. Pejamkan mata, tarik napas panjang. Pelan-pelan saja, tak usah terburu-buru."

"Tak bisa, aku tak bisa!" bantahnya, "aku sedang tidak ada ide. Perasaanku sedang kalut. Bagaimana kamu bisa menulis tentang kebahagiaan dan keindahan dikala dirimu sedang kalut?" ia mengacak rambutnya yang terurai panjang. Sesekali matanya memejam menahan emosi, "apa mungkin, aku sudah tak lagi bisa menuliskan sesuatu tentang keindahan? kebahagiaan? aku sadar, aku ini tak enak untuk dipandang. Tak seperti gadis lain yang elok. Kehidupanku sedikit kacau. Maka dari itu, aku hanya bisa menuliskan hal-hal yang berbau kesedihan."

"Hey, jangan bicara seperti itu. Bagiku, kamu adalah anugerah terindah yang pernah kupunya. Kamu adalah dikara yang telah diciptakan oleh semesta. Pendar senyummu sangat indah hingga netraku masih saja memandangimu dalam diam, tak mampu mengalihkan. Netramu telah menghipnotisku sejak kali pertama bertemu. Kuakui, kamu adalah satu-satunya gadis yang pertama kali duduk di sampingku, percayalah. Kamu indah, seperti namamu."

"Aku tidak indah."

"Tapi, Indah adalah namamu, 'kan?"

"Itu hanyalah nama. Bukan keindahan yang sebenarnya."

"Coba senyum dan menengadah ke langit yang penuh dengan taburan bintang. Bagaimana? indah, 'kan? bintangnya bergerombol membentuk ukiran namamu. Diam-diam, aku selalu berdoa. Menyebut namamu dalam keheningan, agar kamu tak sedih lagi. Senyum, ya? Agar aku bisa melihat keindahan yang sederhana hanya dari senyummu." Ia menatapku sesaat, lalu tersenyum. Membuat kupu-kupu di perutku kembali menari-nari beterbangan.

#30DWC #30DWCJilid16 #Day12

Kamis, 20 Desember 2018

Menghilang

Teruntuk Tuan yang mungkin sedang bersembunyi di balik semesta.

Bagaimana keadaanmu? Kuharap, semesta selalu menjagamu dengan baik meskipun aku sendiri tidak tahu mengenai keberadaanmu sekarang. Bahkan, aku tidak tahu mengapa secepat ini kau pergi dan memilih berkelana ke lain hati setelah kau berhasil membuatku jatuh hati terlalu dalam. Aku berani bertaruh, kau pasti tidak peduli dengan keadaan hatiku saat itu ketika kau memutuskan untuk pergi. Baiklah, kali ini aku hanya ingin menyampaikan segenap perasaan hati melalui aksara. Aku tak memaksamu untuk membacanya, karena percuma. Kamu tak akan memahami isi hati seorang Puan yang sedang dirundung pilu.

Tuan, apa kau tidak ingat dengan ucapan manismu ketika kita sedang bersua melalui telepon genggam? Katamu, kau sangat mencintaiku. Katamu, kau sangat membutuhkanku di hidupmu. Tidak ada gadis lain selain diriku. Kau membuatku terbuai ke langit ke tujuh ketika kau mengucapkannya. Aku bahkan sampai lupa diri sebab ucapanmu yang telah membawaku terbang tinggi ke atas awan. Namun, sekarang aku jatuh karena semua itu terbuang sia-sia. Aku tergopoh-gopoh untuk bangkit, tetapi sulit rasanya. Tidak ada yang bisa menolongku selain dirimu. Apa aku salah jika terlalu berharap? Apa aku salah jika menginginkan sebuah kepastian dan kejujuran?
Kau meninggalkanku tanpa sebab dan tanpa bahasa yang bisa kumengerti.

Kau tahu? Dirimu laiknya pencuri yang mengambil hati, lalu dengan seenaknya melarikan diri tanpa ingin diketahui. Aku baru sadar, ternyata kau tak ada bedanya dengan para pencuri itu.

Tuan, aku tak pernah sekalipun jatuh cinta kepada seseorang terlalu dalam seperti ini. Kaulah yang berhasil membuatku seperti orang yang gila akan cinta. Namun, aku ingin meminta beberapa hal. Anggap saja kita tak pernah bertemu. Anggap saja kita tak pernah bersitatap. Anggap saja aku tak pernah menaruh debaran yang mengguncang hati ketika kau memelukku kala gundah melanda. Anggap saja.. kisah kita tak pernah ada. Kisah kita sudah habis ditelan bumi hidup-hidup.

#30DWC #30DWCJilid16 #Day11

Rabu, 19 Desember 2018

Icarus

I am vibrant and beautiful and that makes me dangerous.

You may call me wicked, but I am just warning. Touch me and you’ll burn, listen to my song and your mind will spin for the rest of time. No portrait in The Louvre is as radiant as I am, no chocolate in Amsterdam can make you melt like I can.

You are brave and courageous and that makes you stupid.

You look at a woman like me and your pride gives you the illusion of strength, but strength doesn't amount to the power I hold. The lightning of Zeus could never electrify you so boldly. One touch and you’re mine, I can set your atoms into chaos and your skin into a frenzy.

No wisdom of Athena can save you from me. Because one smile and all logic flows out of you like a river. I can turn the smartest men’s brains to stone and you are no different.

So you can chase after me and I will enjoy it. I will savor you crawling on the ground to me begging for my love and perhaps I will give it to you right at the end. Right before I shatter your pride like glass falling to the earth.

Because I am the sun. And Icarus, you are flying too close.

#30DWC #30DWCJilid16 #Day10

Selasa, 18 Desember 2018

Masa Silam

Lanjutan cerita berjudul Kota Pelarian yang sudah saya post sebelum ini.

                                       ****

Perempuan itu menyesap green tea latte hangatnya yang masih mengepulkan asap. Ia berada di sebuah kafe di tengah kota dengan kendaraan yang ramai berlalu-lalang. Dengan syal yang dililitkan di lehernya dan juga jaket yang dikenakan pada tubuhnya, menjadikan dirinya hangat dari suasana dingin yang sedang melanda kota Delft. Lagi-lagi ia melamun. Memorinya kembali berkelana pada masa silam sebelum ia memutuskan untuk pergi jauh.

Suara hentakkan yang dibuat oleh wanita paruh baya itu membuatnya geram. Ia merupakan tante Nadeen yang kebetulan menetap di kediamannya. Namun kerap kali gadis itu sering menjadi objek kekesalannya dikala wanita paruh baya itu sedang mengamuk. Pecahan piring berserakan di mana-mana akibat emosi wanita itu yang tidak terkontrol. Nadeen yang hanya bisa diam menggerutu dalam hati akhirnya menangis tanpa ada yang mengetahuinya. Ia menyembunyikan rapat-rapat wajahnya dengan rambutnya yang panjang.

"Nadeen! kamu tuh ya, bisanya cuma diam! kerjaannya pulang malem gak karuan! ngapain aja? mabok? hah?! gak pernah inget sama orang rumah. Orang tuamu sibuk, bahkan mungkin sudah lupa dengan adanya kamu. Lalu, sekarang kamu ikut-ikutan sok sibuk?!" wanita itu terus memarahinya, sesekali memukulnya dengan codet. Sesungguhnya, wanita itu tidak pernah mengetahui apa-apa tentang Nadeen. Yang ia tahu, Nadeen pulang malam dikarenakan asyik dengan dunia malam, tapi ia salah besar. Nadeen memang mempunyai jabatan yang cukup memegang andil perusahaan di usianya yang masih berusia 22 tahun. Ia dipercaya bosnya untuk menjadi tangan kanannya. Dengan tugasnya yang menggunung, ia menjadi sering pulang larut lantaran lembur. Sesungguhnya gadis itu anak baik-baik dan juga pintar. Tak heran ia dipercaya menjadi tangan kanan bosnya di usianya yang masih terbilang belia.

"Sudahlah, tante gak tahu apa-apa! lebih baik diam saja!" ucap gadis itu tak kalah sewotnya.

"Nadeen! diam kamu! pergi kamu dari sini! aku yakin orang tuamu juga tidak menginginkanmu lagi! makanya mereka pergi dan tidak pernah menelponmu, kan? hahaha, aku ini tahu betul siapa mereka. Kamu sudah tak punya hak untuk berada di sini!"

"Apa-apaan?! ini rumahku! kau tidak ada hak untuk mengusirku. Seharusnya kamu yang angkat kaki dari rumah ini, bukan aku!"

PLAK! Sebuah tamparan mendarat di pipi mungil tersebut. Nadeen berlari ke kamar dan buru-buru mengepakkan barang-barangnya dengan tangis yang berceceran di wajahnya. Hatinya sangat hancur dan terluka mendengar omongan tantenya—orang kedua yang dipercayainya setelah orang tuanya justru menikam hatinya lebih dalam. Sejauh ini, ia belum mendengar kabar mengenai ayah ibunya. Mungkin benar apa kata wanita paruh baya itu, orang tuanya juga tidak peduli tentang dirinya. Maka dari itu, ia melarikan diri tanpa berpikir apa pun dan segera melesat menuju bandara. Kota Delft yang berada di Netherland menjadi pilihan gadis itu tanpa perlu berpikir lama. Ia sudah tak peduli dengan segalanya. Pikirannya sudah kacau-balau. Ia pergi meninggalkan Jakarta dengan kondisi hati yang hancur.

Itulah yang menjadi alasan kuat mengapa ia memutuskan untuk pergi jauh. Hatinya belum cukup kuat untuk kembali pada kenyataan. Ia khawatir akan gila jika kembali ke sana dalam kurun waktu dekat. Ia hanya ingin pergi—pergi menjauh, melupakan segalanya yang telah membunuh jiwa positifnya yang sekarang digantikan oleh jiwa negatif dari dirinya. Ia tak membiarkan seorangpun mengetahui  keberadaannya sekarang, termasuk bosnya. Ia merelakan jabatannya hancur dan memilih ke luar negeri untuk menenangkan diri sejenak.

#30DWC #30DWCJilid16 #Day9

Senin, 17 Desember 2018

Pengagum Rahasia

Untukmu, yang selama ini hanya bisa kukagumi dalam diam; apa kabar?

Ah, aneh sekali aku ini. Kenapa pula aku harus repot bertanya? Toh sejujurnya aku sudah tahu kabar beritamu. Setiap pagi setelah ibadah dan bebersih badan, melihat aktivitasmu di media sosial sudah menjadi kebiasaan yang tak pernah kulewatkan. Kalau saja kau menemukan tulisan ini dan tahu bahwa kata-kata yang sedang kau baca adalah tentangmu, kujamin kau hanya akan terkekeh pelan mengetahui betapa picisannya aku.

Tapi untuk hari ini, aku ingin kau tahu sesuatu. Aku tak peduli jika kau bilang aku pecundang. Kau juga boleh menganggapku orang yang tak punya keberanian. Saat kalimat pengakuan hanya bisa kuucapkan dengan terbata, izinkan tulisan ini jadi perantaranya.

Apa kau masih ingat kala itu? Pertemuan singkat di sore hari. Di mana aku sedang menunggu angkutan umum datang sembari menunggu hujan reda. Lalu kau datang sekadar menyapa, kemudian melampirkan jaketmu di bahuku agar aku tak kedinginan katamu. Setelah itu, kau mencoba melontarkan guyonan yang membuatku terkekeh. Tentu saja kita tidak berdua. Ada teman-teman di sekitaran. Anehnya, meski hanya sekilas, perjumpaan denganmu tak bisa begitu saja kulupakan.

Sampai hari ini aku masih ingat suara tawamu yang renyah. Bagaimana ujung matamu berkerut ketika tersenyum lebar. Bagaimana bola matamu membesar dikala menatapku. Kau yang sering merapikan rambut saat sedang gugup, padahal kutahu rambutmu tidak berantakan. Juga bibirmu yang otomatis kau gigit saat tak bisa menjawab berbagai celotehan yang kami lontarkan. Aku merasa kau orang yang menyenangkan. Aku ingin mengenalmu lebih dalam.

Pertemuan kita berikutnya pun tak kalah menarik. Kau dan aku bertemu di acara makan bersama, berbagi meja dan mengambil lauk dari satu piring yang sama. Di tengah kelakar teman-teman yang memekakakkan telinga, senyuman ramah itu kembali kutemukan. Melihat sunggingan bibirmu saja sudah membuatku meremang. Ah, atau hanya aku yang terlalu percaya diri merasa bahwa senyuman itu untukku?

Mulai saat itu, aku ingin menciptakan momen agar kita bisa kembali bersama. Memendam rasa seperti ini kadang membuatku merasa gila. Mengagumimu sekian lama, tanpa sadar membentukku jadi pengamat tingkat dewa.

Buatku, ujian terberat adalah saat kita harus duduk berhadapan—mau tak mau harus saling berpandangan. Aku khawatir kau bisa menangkap binar lain dari mataku. Jika kau pandangi dengan dalam sekian lama, bisa-bisa rasa yang selama ini kusimpan erat tumpah—menguak ke udara. Aroma cinta yang telah kulipat rapi sekian lama tak bisa kujamin tak sampai ke hidungmu yang hanya sejengkal dekatnya. Meski tanpa harus saling memandang mata, ketahuilah bahwa kau dan hal-hal kecil tentangmu tak pernah tersingkir dari kepala

Menyukaimu sekian lama memang membuatku jadi orang yang pintar membaca pertanda. Mataku terbiasa menyapu lobby kampus mencari dirimu yang biasa duduk rapi sembari menggendong tas. Jika dirimu tak ada, tandanya kau sedang sibuk dengan kegiatan sampinganmu yang memang bejibun jumlahnya. Atau, kau hanya sedang malas dan ingin merebahkan badan saja sepanjang hari—membayar jam tidur yang sudah tergadai sepekan lalu.

Kau barangkali tak menyadari betapa aku memperhatikanmu. Kau memang tak perlu tahu. Cukup kupastikan hidupmu berjalan mulus dan tak ada kekurangan. Hanya memandangmu dari jauh pun, aku tak pernah keberatan.

#30DWC #30DWCJilid16 #Day8

Minggu, 16 Desember 2018

Aku Benci Desember


Aku benci Desember. Ia adalah satu-satunya bulan yang ditunggu oleh banyak orang hanya untuk menyambut pergantian tahun. Aku mengerti, Desember diciptakan untuk memisahkan, kemudian ia juga digunakan untuk menyambut hal baru yang akan datang di tahun berikutnya. Namun, aku belum siap untuk melepaskan semua yang ada di tahun ini. Aku masih ingin seperti ini, aku tidak mau menua. Salahkah aku bila berpikir seperti ini? Apa aku terlalu egois sebab tidak ingin berpisah dengan memori yang lalu? Lagipula, di tahun yang akan datang, aku tetaplah aku. Aku tidak akan berubah. Lalu, apa yang harus disambut? Menunggu hadirnya diriku yang baru?

Aku benci Desember. Seharusnya aku berbahagia, namun nyatanya kesenduan lebih senang menghampiri dan bermain-main di benakku dibanding kebahagiaan. Layaknya teman semasa kecil yang selalu memanggil namaku untuk bercengkrama. Sepertinya, aku sudah lumayan akrab dengan sebuah hal yang bernama kecewa, sengkarut, sendu, sendirian, mereka adalah sahabat karibku. Tidak ada yang lain. Aku tidak seperti kamu yang hidupnya banyak rasa dan varian warna. Hidupku sudah penuh oleh awan kelabu. Hanya hujan yang selalu bersedia menutupi tangisanku kala gundah menyerbu.

Sementara, masih ada aku di sini yang tak ingin terburu-buru berganti tahun. Untuk apa? Toh, bagiku tidak ada bedanya. Malam pergantian tahunku tidak ada yang spesial beberapa tahun silam. Mungkin mereka menganggap Desember adalah bulan yang paling membahagiakan selain bisa berlibur sembari merayakan tahun baru, namun bagiku itu tidak.

Aku sendirian. Aku selalu sendirian. Bahkan di hari kelahiranku tepat di bulan penutupan tahun, aku sendirian. Tidak ada satu pun yang mengingatnya, termasuk keluarga. Mereka asyik sendiri dengan hidupnya. Sedangkan hariku hanya ditemani sebatang lilin yang menerangi hariku yang kelam. Tenang saja, aku sudah biasa seperti ini dengan cara dilupakan. Aku sudah biasa dihiraukan. Kamu tak perlu mengkhawatirkanku, juga tak perlu merasa bersalah. Sebab, sesuatu yang sudah biasa terjadi, akan berjalan biasa saja—tentunya dengan hati yang sudah berdarah. Tetapi, jangan salahkan aku seandainya aku mati rasa. Karena sebilah belati telah lebih dulu menikam hatinya saat rasa itu sedang tumbuh bermekaran. 

#30DWC #30DWCJilid16 #Day7

Sabtu, 15 Desember 2018

Diam yang Menyiksa

Tengoklah aku,
apa yang ingin kau bicarakan? Bicaralah, akan kudengarkan selama aku masih mampu tuk mendengar keluh-kesahmu.

Tengoklah aku,
aku ingin kau bercerita tentang apa pun yang kau suka. Jangan pernah berhenti berbicara, karena suaramu adalah nyanyian indah yang pernah kudengar selama hidup.

Tengoklah aku,
jika kau takut lantaran tak ada yang mempercayaimu. Percayalah, aku selalu berada di sini, kapanpun kau membutuhkan telinga untuk mendengarkan curahan hati. Walaupun yang bisa kulakukan hanya sebatas mendengarkanmu, namun aku sangat menghargai dan menikmati momen itu.

Tengoklah aku,
sekali lagi.
Apa pun keadaannya,
aku masih membutuhkanmu untuk bercerita tentang kehidupan yang fana ini.

Mungkin, kau bosan dengan diriku yang hanya bisa mendengarkan tapi tak bisa memberi pencerahan pada keluh-kesahmu.

Mungkin, kau bosan dengan diriku yang hanya bisa mengutarakan perasaan lewat tulisan tanpa berani berbicara langsung. Kau pikir, aku mau terlahir seperti ini—sebagai seorang tunawicara?

Kau tahu, diamku ini sangat menyiksa. Aku terlanjur dibuat patah oleh bibir kelu yang tak bisa mengeluarkan suara laiknya orang lain, seperti dirimu, contohnya. Teman bicaraku tak lain hanyalah secarik kertas dan juga pulpen. Mereka setia menemaniku di kala aku ingin mengeluarkan pendapat. Bila aku bisa berbicara, aku ingin sekali mengatakan bahwa aku beruntung pernah memilikimu sebagai orang yang menerimaku seutuhnya. Sebelum akhirnya kau memutuskan untuk menyumbangan pita suaramu untukku, lalu kau pergi jauh menembus awan dan tak kembali selamanya semenjak kau divonis mengidap penyakit ganas. Namun semuanya sudah terlambat, kau lebih dulu meninggalkanku tanpa alasan sebelum aku mengemukakan segalanya atas permintaan terima kasihku.

Sekali lagi, akankah kau masih mau menengok ke arahku seperti dulu meskipun kau sudah berada di atas sana? Aku merindukanmu—andai aku bisa berbicara.


#30DWC #30DWCJilid16 #Day6

Jumat, 14 Desember 2018

Harapan


"Akankah kita bertemu lagi di suatu hari nanti?" tanya Chihiro padaku. Ia menggenggam jemariku sangat erat seperti tak mau kehilangan. Aku hanya tersenyum, menatapnya penuh arti.

"Ya, tentu kita akan bertemu lagi suatu hari nanti." Jawabku padanya.

"Janji?"

"Ya, aku janji. Sekarang, berbaliklah dan pergi. Jangan melihat ke belakang. Tataplah lurus ke depan. Kau hanya perlu fokus pada apa yang kau jalani." Perlahan aku melepaskan genggaman tangannya dan membiarkannya pergi, entah kapan aku bisa bertemu dengannya lagi.

Aku masih di sini, berbaring di tengah lapangan rumput yang riuh bergoyang karena ditiup angin. Menunggu seseorang yang dulu pernah berjanji kepadaku bahwa kita akan bertemu lagi. Namun nyatanya aku belum menemukannya. Entah aku yang tak mau berusaha mencarinya, atau ia sudah lupa akan diriku yang pernah menolongnya. Aku masih di sini, di bawah sinar mentari hanya berangan-angan bahwa aku akan menemukannya. Lucu sekali, seorang pria yang hanya bisa diam tanpa berusaha untuk mencari gadisnya, lalu ia hanya berdiam diri berbaring di tengah lapang. Bodoh, mana bisa bertemu kalau begini caranya! Biarkan saja aku begini, toh yang kubisa hanyalah berandai-andai mengenangnya setelah belasan tahun tak bertemu.


(Inspired from Spirited Away movie)

#30DWC #30DWCJilid16 #Day5

Kamis, 13 Desember 2018

Self Love


Untuk seseorang yang sedang tenggelam dalam kepedihan, aku tahu kau terluka. Menangislah semampumu, atau bahkan sampai kantung matamu membesar lantaran menangis semalaman. Tak apa, menangislah jika itu satu-satunya cara untuk melampiaskan segalanya di kala aksara tak mampu tuk mengutarakan sepatah kata.

Kau tahu, dirimu bak mawar layu yang tetap indah meskipun sedang dalam keadaan paling rapuh. Ia tetap memancarkan pesona kecantikannya walaupun aku tahu kau sedang tak bisa bangkit.

Dan kau tahu, aku jatuh cinta pada dirimu—diriku. Kau adalah gadis terkuat yang pernah kutemui. Bayangan wajah dengan isak tangis itu selalu melekat di benak, tak mau hilang. Yang kutahu, wajah itu hanya dipenuhi oleh genangan air mata tiap malamnya. Seringkali tetesan hujan itu turun melalui pipi tanpa tahu di mana letak pesakitannya. 

Ingatlah bahwa kekuranganmu bukan sebuah kesalahan fatal. Manusia tak pernah luput dari kesalahan. Maka, jangan sekali-kali kau membenci dirimu. Karena tanpa kau sadari, di luar sana ada orang yang sangat menyayangimu namun ia sulit tuk mengatakannya, seperti halnya aku pada diriku sendiri.

Dari aku, untuk aku, dan teruntuk seseorang di luar sana yang mungkin merasakan hal yang sama, ingatlah selalu bahwa aku mencintaimu—mencintai diri kita, karena sebenarnya kau itu cantik dan berharga. Terbanglah tinggi seperti kupu-kupu yang bebas terbang ke manapun sesuka hati.

Oleh karena itu, tersenyumlah sayang. Ingatlah bahwa dirimu adalah alasan mengapa orang lain tergila-gila dengan senyum seorang malaikat yang cantik jelita.

#30DWC #30DWCJilid16 #Day4

Rabu, 12 Desember 2018

Cinta Tak Bersambut


Sebentar, aku ingin menyampaikan sesuatu padamu.

Jadi begini, berulang kali kau sanggup dan rela mengirimi surat cinta kepadanya. Siang-malam kau ukir kata-kata indah hanya untuk memujinya di dalam surat itu. Bahkan kau tak hanya menuliskannya sebuah surat, tapi kau juga membuatkannya sebuah lagu menggunakan iringan gitar sampai jadilah sebuah melodi nan indah. Atau juga kau rela menggambar dan melukiskan sebuah potret tentang dirinya. Namun ia yang kau tuju tak kunjung membalas perasaanmu, suratmu, atau teks pesan yang kau kirimkan, maupun semua yang telah kau beri padanya. Berulang kali pula bayangan tentang dirinya selalu muncul dalam benak, bahkan sampai terbawa mimpi. Kau gila atau apa? Sudah tahu cintamu tak terbalas, masih saja kau rela menunggunya.

Sekali lagi, aku heran. Aku bangga dengan hatimu yang tak mudah koyak dan goyah.

Kemudian aku menemukan pencerahan dibalik semua ini—dibalik keteguhanmu dalam mencintai seseorang yang bahkan kau rela hatimu tercabik-cabik kala mendengar kabar bahwa orang yang kau cinta telah berpuan.

Oh pantas saja, ternyata ia adalah seorang publik figur. Sosok yang dikagumi dan dicintai seluruh gadis yang ada di muka bumi. Aku pun sering berujar bahwa diriku hanyalah sebatas upil kecil yang tidak beraturan bentuknya. Banyak pria yang kau cintai tapi tak kunjung terbalas. Contohnya, aku mencintai bassist dari salah satu band favorit asal Australia, atau tokoh yang memerankan Peter Kavinsky, atau pula gadis-gadis lain yang menyukai para boyband dan publik figur lainnya.

Kalau begitu, kapan kau ingin berhenti mencintai mereka? Sampai kapanpun cintamu tidak akan tersambut karena ia yang kau cinta tidak akan mengenalimu. Coba, belajarlah mencintai ia yang sedang mengagumimu dalam diam walaupun kau tak tahu bahwa ada seseorang yang menyayangimu selama ini tanpa sepengetahuanmu. Cintanya juga tak terbalas karena kau selalu sibuk memikirkan tokoh idolamu itu.



#30DWC #30DWCJilid16 #Day3

Selasa, 11 Desember 2018

Kota Pelarian
















Aku suka berkelana, ke mana pun itu. Menurutku, berkelana mengitari suatu tempat yang belum pernah kita kunjungi itu mengasyikkan. Belum lagi, kita akan menemui orang baru. Kita bisa berkenalan, menambah dan membangun ruang lingkup pertemanan, dari mereka kita bisa mengetahui banyak hal melalui kisah yang diceritakannya. Berkelana juga membuatku merasa lega. Aku adalah orang yang seringkali merasa penat akan kehidupan. Sesekali, kau juga butuh rehat. Mengistirahatkan pikiranmu pada seribu beban yang ada di benak. Caranya, lakukanlah apa yang kau sukai. Misalnya, dengan menyesap kopi atau cokelat panas di pagi hari maupun di malam hari sembari menuliskan sebuah cerita. Kau juga bisa riset dengan bepergian ke luar. Tak perlu jauh-jauh, pergi ke sebuah cafe terdekat pun juga membantumu untuk mencari ide yang dibutuhkan.

Seperti halnya yang aku lakukan sekarang ini. Aku sedang berada di sebuah jembatan di kota Delft. Duduk riang di kursi bersama laptop yang kupangku serta ukulele yang biasa kumainkan. Biasanya kalau kepenatan mulai datang, tempat ini akan kujadikan pelarian untuk menyegarkan pikiran dari segalanya. Sudah sebulan aku menetap di sini, di propinsi di Zuidholland yang terletak tak jauh dari kota Den Haag, Belanda. Pasti kau bingung, mengapa aku pergi jauh sekali hanya untuk mencari secuil inspirasi? Buang-buang uang saja. Sebenarnya, aku tak perlu menjawabnya karena aku sudah menjelaskannya sebelum masuk ke point. Aku suka menyendiri. Lagipula, aku sedang melarikan diri dari kenyataan walaupun kutahu itu tak akan membantu. Aku juga memutuskan untuk menimba ilmu di kota ini agar pelarianku tidak sia-sia begitu saja.

Namaku Nadeen Almira, sebut saja Nad atau Nadeen. Hari ini aku telah sampai pada sebuah rasa yang benar-benar membuatku bingung. Seringkali aku melihat pria itu. Pria yang selalu berada di depan kelasku ketika pelajaran usai. Entah, aku tak tahu. Mungkin itu hanya kebetulan. Mungkin saja, spot itu memang menjadi tempat favoritnya sejak lama. Ia juga selalu membawa kamera dan buku jurnal catatan ke mana pun itu. Kudengar, ia juga seorang fotografer yang handal di universitasku. Ia seringkali memenangkan perlombaan fotografi yang membuat nama baik kampusku menjadi lebih dikenal. Ah, mengapa aku jadi tahu banyak tentangnya. Sudahlah, nanti aku malah jatuh hati padanya. Lagipula, ia hanya orang asing dan aku sama sekali tak-tahu menahu tentang dirinya. Aku adalah anak baru di sini, jadi aku tidak berani bertindak macam-macam seperti ingin sekali mencampuri urusan orang lain. Tidak, aku tidak seperti itu. Lebih baik kufokuskan dulu pada cerita yang akan kutulis. Semoga saja, pria itu tidak masuk ke dalam ceritaku, tapi siapa yang tahu sih.. kita tidak akan pernah tahu kepada siapa kita akan jatuh hati. Bisa saja dengan lancang, esok kau akan mencintai temanmu sendiri bahkan kau mencintai orang asing yang baru saja kau kenal. Kita tidak pernah tahu.

#30DWC #30DWCJilid16 #Day2

Senin, 10 Desember 2018

Kotagede, Saksi Bisu

Udara Jogja malam ini cukup sejuk, bahkan terbilang lebih sejuk dari biasanya. Memang, seharian ini kota diguyur oleh hujan deras yang menyebabkan segala aktifitas menjadi terhambat hingga menyebabkan suhu udara menjadi lebih dingin. Untung saja malam hari hujan berhenti, mungkin ia memberiku kesempatan di hari terakhirku berkunjung menemuinya di kota ini. Aku memasukkan kedua tanganku ke dalam saku jaket. Ia yang berjalan di sebelahku hanya menatap lurus ke depan. Sesekali menatapku beberapa detik. Namun, tiap kali aku menangkap tatapannya, ia melempar pandangan ke arah lain seperti orang yang panik ketika pujaanmu tersadar bahwa kau memperhatikannya sedari tadi. Kami berkeliling sekitar Kotagede, kota yang dikenal sebagai daerah pengrajin perak peninggalan kerajaan Mataram. Masa remaja kami telah usai—habis tergantikan oleh usia yang menginjak dua puluhan. Aku merindukan saat-saat itu. Di mana, tiap sepulang sekolah kami selalu makan bakso di tempat langganan, kehujanan bersamaan lantaran aku tidak ingin memakai payung dan memilih hujan-hujanan, sedangkan ia hanya mengikutiku, padahal aku tidak memaksanya. Banyak yang tak bisa kuceritakan karena momen itu tidak bisa dihitung dengan jari. Sudah lama aku tidak bersua dengannya, bahkan kedatanganku ke Jogja sebenarnya bukan untuk menemuinya, melainkan tuntutan pekerjaan.

"Kenapa? dingin? sini, tangannya masukin jaketku aja. Lebih hangat,"

aku sedikit terkejut ketika ia merangkulku dan menaruh tanganku dalam saku jaketnya. Ia menggenggamnya seakan tahu aku kedinginan, padahal aku menyukai saat-saat kedinginan seperti ini agar bisa dipeluk. Haha, bukan, tentu bukan itu alasannya. Aku memang menyukai cuaca yang sejuk seperti ini. Namun ia memanfaatkannya agar bisa menggenggam tanganku sepertinya.

"Memangnya aku mengizinkanmu buat menggenggamku? nggak, kan? aku nggak kedinginan. Lagipula, aku sudah nyaman dengan saku jaketku sendiri."

"Hmm, kamu ingat?" ia mulai menerawang masa lalu, pikirannya seolah sedang menemui masa lampau yang sudah lama berdebu. "Dulu, aku berjuang sekali untuk mendapatkanmu dan aku sekarang ingin sate sapi yang itu tuh," ia menunjuk sebuah kedai yang berada di Lapangan Karang. Sate sapinya lumayan ramai dipenuhi pengunjung tiap malam.

"Ya, terus apa hubungannya dengan sate?"

"Aku lapar."

"Gak ada yang nanya."

"Jahat ih,"

"Kamu baru tahu, ya? sudah kenal aku berapa lama?"

"Kemarin sore. Ya, belasan tahunlah. Gimana sih mbak ayune ini." Aku hanya diam menatap ruas jalanan yang dipenuhi lalu-lalang kendaraan. "Kenapa diam? ternyata masih sama ya, gak suka sate sapi. Padahal enak banget. Ya sudah, aku ke sana duluan, ya. Kamu tunggu sini," lanjutnya.

"Eh tunggu, aku ikut."  Aku mengikutinya dari belakang setelah ia berlari kecil menghampiri kedai itu.

Antrean panjang memenuhi barisan, sementara ia sudah berdiri di deretan paling pertama setelah mengantre sekitar sepuluh menit. Ia tetap membelikanku sate itu padahal ia tahu aku tak menyukainya. Katanya, ia sengaja membelikanku. Meskipun aku tak akan memakannya, setidaknya sate itu akan tetap berada dalam genggamanku sampai kedaluwarsa. Sama halnya seperti dirinya yang takkan pernah bisa kugenggam hingga hati ini telah melupa. Sebab kutahu pertemuan ini hanyalah sementara. Besok aku akan kembali lagi ke Jakarta setelah tugas selesai. Artinya, pertemuanku dengannya juga usai dimakan waktu. Aku begitu bingung dengan dirinya yang kerap kali berkata bahwa perasaannya terhadapku adalah kekal, namun bagiku yang kekal adalah kematian. Apalagi ini hanyalah secuil perasaannya padaku yang aku yakin tidak ada apa-apanya, mungkin saja ia tertarik padaku karena aku cantik. Tetapi ia belum tahu kalau aku ini monster yang menggemaskan.

"Jasmine, boleh aku tanya satu hal?" tanyanya disela keheningan.

"Iya, silakan."

"Kenapa kamu gak suka sate sapi?"

"Harus banget dijawab?"

"Iya dong."

"Oke, karena aku selalu ingat orang lain tiap aku melihatmu makan sate sapi kedai itu."

"Siapa dia?"

"Gak perlu tahu, gak penting juga. Rahasia hati."

"Siapa dia?" kali ini nada suaranya sedikit menghentak seakan ia harus tahu siapa lelaki yang sudah menempati ruang hatiku lebih dulu.

"Orangnya sudah gak ada, sudah pergi ke planet lain."

"Jangan bercanda."

"Kok jadi jutek sih? aku serius."

"Aku kecewa."

"Mau pergi? silakan. Aku nggak melarangmu kok."

"Aku selalu ikhlas tiap kali kamu tak mengacuhkanku. Aku rela kamu cabik-cabik hatinya dan aku selalu membantumu bangkit. Lalu, ini yang kudapat?"

"Sebentar, memang ada yang menyuruhmu untuk menetap? aku tidak pernah memintamu, Anggar!"

"Baiklah kalau seperti itu maumu. Kurasa, perjuanganku sudah selesai. Aku sudah tidak ingin menjadi pahlawan kesianganmu lagi."

"Aku tidak pernah memintamu, lagipula aku tidak pernah menaruh harap. Justru kamu yang berlebihan. Kamu tidak boleh menaruh harap yang berlebih pada seseorang. Jika orang itu tidak menerimamu, kamu yang akan sakit sendirian. Kamu sendiri yang akan menanggung lukanya. Sudah tahu aku jahat, tapi masih saja dikejar. Kalau sudah begini, aku yang disalahkan. Cinta itu nggak bisa dipaksakan, Anggar! sudahlah, ikhlaskan saja. Terkadang di dunia ini, kita harus mengikhlaskan apa pun itu termasuk mencintai. Memang itu sulit, tapi kuyakin kamu bisa. Kalau kamu tidak bisa ikhlas, ya begini jadinya. Kamu akan bisa marah dan menyalahkanku seolah aku orang terjahat sedunia. Ya, memang sebenarnya aku jahat!" aku menekan sedikit intonasiku sehingga ia sedikit geram.

"Aku tidak tahu sampai kapan, tetapi yang terpenting adalah kamu. Kamu harus tahu bahwa hati kecilku masih menginginkanmu, sejauh apa pun jaraknya."

Perlahan, rinai hujan kembali turun membasahi bumi. Ia mendekatkan tubuhnya ke arahku dan mengecup keningku, kemudian berbalik badan dan berjalan menjauh. Aku menganggap kecupannya sebagai kecupan perpisahan. Aneh, aku tak pernah merasakan degupan jantung yang amat kencang seperti orang yang sedang dimabuk asmara saat bersamanya ketika dalam jarak dekat seperti tadi. Berbeda ketika aku berdua dengan pria yang terlanjur mengisi hatiku terlebih dahulu, namun ia sudah meninggalkan bumi sekitar setahun yang lalu setelah kepergiannya. Hari mulai larut, menunjukan pukul setengah satu dini hari. Suasana kota juga masih lumayan ramai, namun aku seperti sendirian di tengah ramainya kota setelah pertikaian terjadi. Saking ramainya, tak ada yang menyadari bahwa kedua insan sedang bertikai. Biarkan rinai hujan di Kotagede menjadi saksi bisu antara dua insan yang egois saling menggebu tak mau mengalah perihal perasaan. Antara mengikhlaskan cinta dan juga tidak. Bagaimana mungkin aku semudah itu mempercayainya sebagai rumah tuk melepas penat sementara ia sudah lelah dengan percobaan yang kuberi. Salahkah jika aku meragu? Mungkin, dirinya hanya tercipta untuk mengisi hariku yang sepi, tapi tidak untuk penghuni hati, karena hatiku masih menolak untuk menemui rumah pada hatinya yang sebenarnya sama sepertiku—kosong.

#30DWC #30DWCJilid16 #Day1

Sabtu, 01 Desember 2018

Surat Cinta


Hai tuan, lagi-lagi hari ini kutuliskan perasaanku di hatimu. Kubawakan aurora tuk menghiasi malammu. Kuundang musim semi hadir tuk menghangatkanmu. Kupinta butiran salju tuk menyejukkan jiwamu.

Entah sudah keberapa kali, aku tak lagi menghitung jumlahnya. Kurasa, aku terlalu sering menuliskanmu dalam aksara. Aku pun tidak bosan menuliskanmu dalam tulisanku. Kau ingin tahu apa alasannya? Karena aku ingin kau terus menetap dan tinggal dalam aksara yang kubuat. Aku ingin kau tetap tinggal dalam imajinasiku walau hanya sekejap. Di sana, aku bisa sebebasnya memujimu tanpa harus malu-malu mengungkapkan rasa. Aku ingin kau menari-nari di benakku—berdansa bersama diterangi temaram lampu istana kerajaan dan semua perhatian tamu tertuju pada kita. Walaupun kutahu, hal itu hanyalah sebuah angan dalam ingatan. Aku terlalu berimajinasi, ya? Mana mungkin kau merasakan apa yang kurasa, aku ini terkadang lucu. Aku memang suka mengkhayal tentang hal yang tak mungkin terjadi.

Seringkali aku membayangkan bahwa aku bisa memilikimu, namun aku belajar dari kehidupan bahwa cinta tidak harus memiliki. Seperti kata Nug—tokoh fiksi dalam novel Kata, aku mencintaimu tanpa berharap apa pun. Itu memang kebenarannya. Aku sedang tidak berbohong, tuan. Kalau kau tidak percaya, coba tatap mataku. Ia tak pernah bohong, tak seperti mulut yang terkadang berpura-pura untuk menutupi perasaan yang sedang hinggap dalam hati.

Tuan, kuharap kau tidak keberatan jika aku menyimpan rasa ini secara sembunyi. Jangan paksa aku tuk berpaling, karena hatinya masih terpatri untukmu. Ia telah menyelinap masuk ke dalam hatimu diam-diam agar tidak ketahuan. Seperti pencuri yang datang dengan menyergap lalu mengambil segalamu, tetapi aku tidak begitu. Aku tidak ingin mencuri hatimu. Aku hanya ingin kau mengerti bahwa aku bisa mencintaimu sendirian tanpa perlu balasan. Dengan melihatmu saja sepanjang hari sudah membuatku bahagia. Dengan hadirnya dirimu, aku sudah lupa akan rasa sakitku. Cukup netra yang berbicara, aku yakin kau merasakannya walaupun tidak terang-terangan. Karena di netramu, kerlip bintang tersenyum riang kala sinar rembulan padam dihisap kegelapan malam.

Kepada seorang pria dengan mata nan indah dan senyumannya yang memabukkan. Binar senja pun kalah indahnya dengan merah pipinya ketika ia tersenyum padaku.

Tertanda,
—jasminetales

Hadiah


"Heyaa!" aku menepuk bahu perempuan itu seraya berjalan mengendap-endap, lalu mengagetkannya dari belakang.

"Apaan sih woy ngagetin aja! kenapa harus lo lagi sih? gua capek tau ga?!" tubuhnya hampir terjengkang ke belakang dan untung saja refleksku menahannya agar tidak jatuh. Iya, ini seperti macam sinetron ftv, namun kami tidak seberlebihan itu. Justru ia membentakku begitu saja karena terkejut. Sudah kuduga responnya akan seperti ini. Perempuan seperti dia mana bisa romantis, tapi aku menyukainya meskipun ia galak.

"Makanya, siang-siang jangan suka bengong!" ujarku sembari mengacak-acak rambutnya yang terurai untuk menetralisir suasana.

"Heh, bisa diem gak?! gak usah ngacak-acak rambut orang! lo tau gak? gua catok rambut ini tuh capek, karena rambut gua yang super-duper keriting!"

"Eh galak banget si cewek yang satu ini, ampun-ampun, mba."

"Gak, gak ada ampun bagi lo!"

"Hadeh, mau sampai kapan sih kamu begini terus? aku cuma mau kamu ketawa doang. Biar gak kusut itu muka."

"Stop, berhenti ngomong atau gua pergi dari sini." Ia meletakkan telunjuknya ke depan bibirku. Tatapannya sangat ganas seperti ingin menerkamku saat itu juga. Aku tak tahu apa yang membuat dirinya segalak ini padaku. Padahal aku tidak pernah berbuat salah padanya, aku hanya seorang seniornya di kampus dan kemudian aku jatuh cinta padanya.

"E-eee-eehh, berhenti gerak!" seruku layaknya petugas ucapara yang sedang bertugas di lapangan. Aku menahan lengannya dengan sigap dan menariknya kembali ke hadapanku.

"Mau apa lagi sih? belum puas gangguin anak orang, hah?!"

"Eitss, tunggu dulu dong. Nih, aku punya sesuatu. Sebentar, jangan ditinggalin. Awas loh. Kalau kamu ninggalin, berarti kamu punya hutang sama aku!" ancamku padanya sambil tersenyum geli. Aku gemas sekali kalau melihat ia cemberut seperti ini. Tapi siap-siap saja, aku akan terkena amukkannya sebentar lagi.

"Mana, gak usah lama-lama!" perempuan itu melipat kedua tangannya dengan gayanya yang dingin. Ia memang terkenal dingin dan cenderung cuek. Tak seperti perempuan lain yang kebanyakan haha-hihi kecentilan di depan lelaki.

"Nah, ini diaa!" aku mengambil sesuatu dari dalam ranselku dan membuatnya penasaran. "Eh tunggu dulu. Kamu harus tutup mata, baru nanti aku kasih. Terus, buka kedua tangan kamu lebar-lebar, nanti hadiahnya aku taruh di situ. Tapi ingat, jangan dibanting ya, aku bikinnya susah payah cuma buat kamu."

"Iya-iya, gak akan dibanting." Situasi sudah aman. Ia memejamkan matanya dan aku bisa melancarkan aksiku. Kuletakkan sebuah bingkai itu di kedua jemarinya yang terbuka lebar. Dalam hitungan ketiga, kusuruh ia membuka mata dan alangkah terkejutnya ia melihat bingkai yang barusan kuberi.

"Ginda, i.. ini gambar Calum? buat aku? kamu yang lukis?" sepertinya ia terlalu bahagia hingga bicaranya terbata-bata.

"Iya dong, itu buat kamu. Aku buat semalaman."

"Kenapa kamu baik banget? makasih ya, padahal aku selalu jahat sama kamu."

"Hmm, apa itu membutuhkan sebuah jawaban?" ia hanya diam menatapku. "Oke, begini ya sayang, aku cuma ingin kamu bahagia, kamu tersenyum, dan gak kusut terus. Aku gak mau ngeliat kamu cemberut tiap harinya, dan.. tadi kamu panggil aku dengan sebutan 'kamu'? aku tidak salah dengar, kan?"

"Hih, jangan geer deh. Lagian gua gak sengaja panggil lo dengan sebutan 'kamu'. Kebawa suasana. Jadi, please jangan kegeeran."

"Halaah, masa sih. Kalau iya juga gapapa, panggil sayang malah lebih bagus lagi."

"Heh Ginda, awas lo ya kalo godain gua lagi! sekali lagi lo ngomong gitu gua tonjok!" aku kabur seketika ia betul-betul ingin menghajarku. Aku tertawa terpingkal-pingkal melihatnya geram. Ternyata bahagia sesederhana ini. Melihatnya geram karenaku, ia jadi semakin menggemaskan. Aku hanya ingin memastikan bahwa ia baik-baik saja dan ia harus tahu bahwa ada aku yang terus memperhatikannya setiap hari. Setidaknya, hadiahku sudah ia terima dengan aman walaupun lagi-lagi aku kena ocehannya. Aku yakin, hadiah pemberianku akan sangat disukainya. Lantas, hadiah untukku hari ini adalah, aku berterima kasih pada Tuhan karena masih mengizinkanku untuk membuatnya senang, meski hadiahnya tak seberapa. Namun gadis itu sangat berarti untukku.

Angkringan Nasi Kucing Pak Djono


"Wah, Ndri lihat itu! ada nasi kucing!" Gadis itu berseru padaku. Membuatku sebal karena teriakannya membuat telingaku sakit.

"Apaan sih, Nay? kenapa? mau makan, hmm? padahal baru juga selesai makan, masa mau makan lagi. Itu perut apa karet?"

"Eh jangan gitu dong. Mumpung gua lagi di Yogya, lu harus gunakan kesempatan ini. Makan bareng sama gua sebanyak-banyaknya. Biarin lu gendut, gua gak peduli!"

"Yeh nih anak. Kayaknya cewek yang doyan makan sampai segininya cuma lu doang deh. Kebanyakan cewek yang gua ajak ngedate sambil makan pada jaim. Alasannya katanya takut gendut, jaga body."

"Yaelah, masih mikirin gendut? cupu lu. Ayo makan. Gak pake lama! atau lu yang gua tinggalin di sini."

"Dasar nyebelin lu ya! baru ke Yogya sekali doang udah sok tahu banget."

Ia hanya menjulurkan lidahnya sembari melipat kedua tangannya di dada. Bukan Nayla kalau tidak menyebalkan, aku sudah hafal tiap perbuatannya.

"Oke deh, mau pilih apa?"

"Gua pilih nasi bandengnya dua, nasi ayamnya dua, sama nasi bakar dua. Terus sate kerangnya dua dan apalagi ya? hmm, sate paruhnya dua, dah cukup."

Aku terperangah begitu ia menyebutkan makanan yang akan ia beli. Masalahnya, aku yang mentraktirnya makan gara-gara aku sudah menjanjikannya tadi.

"Hah?!? wah gila, gila lu ya. Banyak banget, itu lu yakin bakal habis? gua gak habis pikir. Lu selama tinggal di Jakarta emangnya gak pernah makan ya?"

"Enak aja, ya gak bakal habislah. Paling gua sisain."

"Ya terus kenapa lu belinya banyak, nona manis?"

"Kan biar bisa dimakan juga sama adik gua di rumah. Jadi gak gua doang yang kekenyangan, gitulhoo. Ah, si Endri gimana sih. Lu kenal gua udah berapa tahun sih? kayak baru kenal aja deh."

"Iya, iya, iya. Ya udah, gua beliin. Tapi inget, harus dimakan ya."

"Nah, gitu dong pak bos! makasih ya!"

Ia meraih kantong plastik berisi makanan tersebut. Aku belikan semua yang ia pinta. Berhubung Nayla adalah karibku, jadi kulakukan semua untuknya. Termasuk membuatnya gendut malam ini. Kami memang suka berkuliner bersama, bahkan debat kali ini bukanlah debat kali pertama antara aku dan dirinya. Jadi, aku sudah memaklumi.

"Eiits, tunggu dulu. Ada satu hal yang lu harus tau."

"Apaan tuh?"

"Bolehlah, sekali-kali lu masak buat gua. Masakan lu kan enak, anggap aja gua suami lu, HAHAHA!"

"ENDRII! AWAS, GUA PECAT JADI TEMAN LU YA!"

Teriaknya sambil berlari mengejarku yang sudah lari terbirit-birit meninggalkan tenda.

Senja Bersama Jani

Suara burung camar terdengar kencang di udara, kicaunya mengisi ruang hampa di hati lelaki itu. Sepoi angin segera membelai rambutnya begitu ia berpijak pada pasir pantai. Ia tahu, tempat ini akan selalu menjadi tempatnya untuk pulang. Ditemani keindahan senja yang begitu mempesona. Awan berarak mengikuti arahnya angin. Mereka berarak sangat pelan dan rapi seperti tak mau pisah satu sama lain, lalu tersirat warna jingga di dalamnya. Langit senja memang selalu membuatnya nyaman. Ia tak salah jika menjadikan tempat ini sebagai rumah keduanya untuk melepas penat setelah ia memutuskan untuk menitipkan hatinya pada gadis itu, Jani.

"Gimana? suka nggak sama langitnya?" tanya Ginda pada seorang gadis yang duduk di sampingnya.
"Suka, langitnya cantik."
"Iya, sama cantiknya kayak kamu."
"Ginda, jangan gombal deh! ia menyenggol siku pria itu dengan geram.
"Haha, kayaknya cuma kamu deh yang kalau dipuji tuh selalu gak suka."
"Emang gak suka."
"Kamu tahu? semakin kamu begitu, aku semakin suka."
"Suka doang kan? belum sayang?"
"Udah kok, udah sayang. Dari dulu, tapi kamu selalu menghiraukannya."
"Karena aku gak mau kamu masuk ke dalam duniaku."
"Kenapa?"
"Duniaku rapuh, gelap, gak ada cahaya, nanti kamu tersesat.
"Sini, aku bantu keluar."
"Aku ragu."
"Apalagi yang harus diragukan, Jani? apakah aku belum bisa membuatmu yakin padaku?"

Gadis itu hanya diam, tak memberi jawaban. Pikirannya beterbangan ke mana-mana. Mengingat ia tak akan bisa semudah itu percaya dengan cinta. Katanya, jatuh cinta bisa membuatmu senang. Namun, ia masih meragukannya setelah ia melihat kisah cinta ayah bundanya harus berakhir memilukan. Tanpa sengaja, hal itu membuatnya sangat sakit dan tak henti-hentinya ia jatuh ke dalam lubang yang dalam.

"Jani, dengarlah. Aku tak pernah berbicara mengada-ada. Aku tak pernah mengarang cerita kepadamu. Yang kukatakan padamu, itu selalu mengenai faktanya. Fakta bahwa aku telah menitipkan keseluruhan hatiku hanya untukmu."
"Jangan gitu, ah. Banyak yang lebih cantik dariku. Jangan titipkan hatimu padaku, aku tak mau merusaknya."
"Tapi, jika aku maunya kamu, gimana?"
"Ya, gak gimana-gimana."

Ginda menarik lengan Jani dan meletakkan telapak tangan gadis itu pada dadanya, "Jani, coba dengar. Apakah kamu mendengar bunyi ini? bunyi detak jantungku? bunyi yang selalu membuatku hampir gila tiap berada di dekatmu? iramanya melaju begitu cepat, untung saja jantungku tidak copot di hadapanmu."

"Haha, kalau copot, apakah itu akan menyakitimu?"
"Tidak, kalau kamu sendiri yang akan mencopotnya."
"Kalau orang lain?"
"Aku tak membutuhkan orang lain untuk mencopotnya. Aku hanya butuh kamu"
"Aduh, Ginda, udahlah."
"Jani, kapan kamu akan menyayangiku?"
"Gak tahu."
"Secepatnya, ya?"
"Gak janji."
"Baiklah, aku menyayangimu tanpa harapan, Jani. Setidaknya, izinkan aku menyayangimu walaupun aku tak tahu kapan tepatnya kamu akan kembali menyayangiku."
"Lho, katanya gak berharap?"
"Aku hanya tak ingin membuat tuan putriku pusing memikirkannya. Udah, jangan dipikirin. Mending mikirin aku aja."

Jani mendorong pelan tubuh Ginda karena sebal. Baginya, pria itu sangat kegeeran. Tetapi entah kenapa, setiap perkataan yang keluar dari mulutnya selalu membuat gadis itu merasa aman dan tak sendiri. Namun tetap saja ia berpegang teguh pada pendiriannya bahwa ia masih belum bisa mempercayai cinta seutuhnya lantaran hatinya masih diselimuti oleh abu yang tebal. Ginda hanya mengacak-acak rambut gadis itu dengan pelan sambil tertawa. Pria itu memang tidak berharap lebih, hanya dengan melihat dan menatap gadis itu, kemudian memastikan bahwa tidak terjadi apa-apa dengan gadisnya, itu sudah lebih membahagiakannya dibandingkan melihat gadisnya murung. Bahagianya hanya sesederhana itu. Gadis bernama lengkap Senjani itu memang telah merebut segala perhatian Ginda dari dunianya sejak dua tahun terakhir. Senja pun tenggelam dengan sinarnya yang indah. Mengakhiri percakapan dua insan yang sedang dilanda asmara, meskipun hanya satu yang berbunga-bunga.



Sabtu, 12 Mei 2018

Lost in the Middle


Angin menyambar-nyambar malam ini. Aku bersumpah, dinginnya menggerogoti kulitku yang meronta ingin segera dilekatkan sebuah jaket. Lantas kutersadar, tak akan ada orang yang menemaniku di sini, di tempat persembunyianku. Jika kau menanyakan tentang bagaimana keadaanku sekarang, aku berantakan—hampir tidak bernapas dengan sakit yang amat dalam di dadaku. Namun kuyakin, di setiap kesakitan selalu ada penyembuhan. Apa kau mempercayainya?

Aku menemukan kenyamanan di tempat gelap temaram cahaya seperti ini, entah mengapa. Hanya ditemani oleh suara burung malam yang berkicau di sekelilingku, redupnya lampu menambah suasana menyeramkan tetapi melankolis. Memoriku kembali berkelana, mengingat sekeping memori di masa lalu akan lagu berjudul Hello dari Evanescence dibagian, "has no one told you she's not breathing? Hello, I'm your mind giving you someone to talk to." Lirik itu mencabikku, mengingatkanku pada adikku yang sudah tiada dan aku rela bersembunyi di tempat peristirahatannya sendirian. Aku memang selalu sendiri, kesendirian adalah temanku sejak dulu.

Tidak, jangan mencoba untuk memperbaikiku. Aku baik-baik saja, aku tidak gila, aku hanya merasakan kekosongan dan tidak bisa berbuat apa-apa selain berlari ke tempat ini dan menangis. Aku paham, menangis meraung-raung di tempat peristirahatan orang yang telah tiada memang tiada guna. Ia tak akan memelukku namun setidaknya hatiku sedikit lebih lega setelah itu. Apa kau merasakannya? Aku tahu kau ingin menemaniku, kan? Jangan dulu, ya? Aku ingin sendirian saat ini, hatiku masih terlalu rentan.

Tersesat? Ya, aku tersesat. Tersesat dalam jiwa yang tak tahu arah. Tak tahu jalan pulang. Kini yang kutahu hanyalah mengambil sisa kesempatan, peluang di mana aku bisa menangis sepuasnya, sejadi-jadinya sampai wajahku merah berantakan. Lalu, apa yang kan terjadi setelah itu? Pingsan dan menemukan diriku berada di rumah sakit saat itu. Ternyata petugas di sana membawaku ke rumah sakit dan aku sempat koma beberapa hari, tragis sekali.

Kalau diibaratkan, aku sudah tak mau lagi berteman dengan kesedihan. Aku ingin ia menghilang dan lenyap dari kehidupan. Maukah kau membantuku? Baiklah, untuk yang terakhir kalinya aku permisi mundur, mundur dari kehidupan. Jangan cari aku, ya? Aku akan aman dan baik-baik saja. Kau mengerti?


-------------------
(Kali ini, cerpennya juga terinspirasi dari lagu Lifehouse berjudul Broken. Nggak, penulisnya gak lagi broken kok. Ini tulisan kemarin malam buat challenge harian, saya juga takut nulisnya karena serem, tapi buat tantangan aja wkwk. Jangan lupa dengerin juga lagunya ya biar kebawa emosinya hahaha! *Sstt dan karena penulisnya juga lagi seneng sama Lifehouse ini, suaranya enaaak didenger, gak kayak suara saya sember wkwk boong deng)

Mencari Kepingan Hati


Aku mencarinya, mencari sosok seorang gadis yang telah mampu membuat diri ini tak berdaya ketika netraku bertemu tatap dengannya. Langkahku berhenti di sebuah stasiun. Kata orang di sekitarku, ia akan pergi meninggalkan kota ini, entah tujuannya untuk apa. Derap langkahku masih sibuk mencari, netra menerawang, dan membayangkan di mana posisinya berada. Berbagai sudut tempat yang terletak di tempat ini telah kutelusuri, namun hasilnya tetaplah nihil. Aku bahkan tak tahu harus berbuat apalagi untuk menemukannya, seakan jarum jam pun enggan tuk berdetik. Menambah waktu yang kian lama bergulir dengan cepat. Aku tak bisa mengejarnya, namun aku juga tak bisa mundur dalam situasi seperti ini. Tanpa kusadari, ia membuatku kepalaku sedikit berdenyut karena memikirkannya. Aku tak tahu apa yang akan terjadi bila aku tak bisa lagi memandangnya. Aku mengacak rambutku, aku tahu ini salahku, aku yang terlambat untuk mengungkapkan semuanya bahwa aku menyayanginya. Sungguh, ia telah menyita semua perhatianku. Apapun yang ia lakukan terasa indah dan benar di mataku.

Aku mencoba menepuk bahu seorang gadis yang sedang melihat papan jadwal keberangkatan kereta, ia berbalik arah dan memandangku. Namun yang kutemukan bukanlah dirinya, aku salah sasaran. Orang itu kembali lagi menatap jadwal. Jujur, tak pernah sebelumnya aku mengalami hal seperti ini. Ia membuatku frustasi tanpa sengaja. Bahkan rasa lelahku tak ada artinya dan akan lebih sakit jika aku gagal menemukannya.

Aku memberanikan diri kemudian menuruni anak tangga yang mengarah di mana kereta tersebut akan datang menjemput sang penumpang. Berulang kali diriku dihadang oleh petugas karena aku sama sekali tidak mempunyai tiket, aku hanya mempunyai sebuah kartu tanda penduduk dan surat izin mobilku. Tetap saja petugas menghadangku, aku tak akan lengah begitu saja. Sebisa mungkin aku memohon agar diizinkan memasuki peron area di mana penumpang beranjak memasuki kereta, dewi fortuna akhirnya datang membantuku. Petugas memberiku jalan, aku dipersilahkan memasuki tempat yang kutuju. Netraku kembali berkelana. Aku melihat sekelebat bayangan dirinya yang sedang duduk di kursi sembari menunggu kereta datang. Benar, dugaanku tidak salah. Itu adalah dirinya, perjuanganku tidak sia-sia.

"Eh, hai.. aku mencarimu," sial, mengapa degup jantungku menjadi tak beraturan ketika kumenyapanya. Aku bahkan tak berani untuk menatap matanya kali ini. Untuk kali pertama aku tidak berani menatapnya dari jarak dekat.

"Mencariku? untuk apa?" Ungkapnya penasaran, oh Tuhan, ia menatapku. Aku tak tahu harus bagaimana menghadapinya. Aku menjadi sangat kacau sepertinya.

"Aku ingin memberikan kartu ini." Aku mengeluarkan sebuah kartu dari dalam kantung celanaku. Aku ingat, dulu aku pernah mengukir namanya di sebuah kartu tanpa sengaja, kemudian kuberikan kartu sederhana itu padanya. Tak seberapa indah, hanya terukir namanya di sana dan betapa bahagianya aku ketika ia tersenyum riang ketika melihatnya.

"Ehm.. sederhana sekali, tapi aku suka." Bibir mungil itu mengulas sebuah senyum, rona merah terpampang jelas di wajahnya yang berseri.

"Oh ya? terimakasih banyak." Tanpa aba-aba aku langsung memeluknya, tak akan membiarkannya pergi lagi dari hadapanku. Yang dipeluk hanya terkejut, tak lama kemudian ia membalas pelukanku dan membuat tubuhku terasa kaku.

"Aku tak mau kau pergi."

"Aku tak akan pergi, hanya ingin singgah sebentar ke tempat lain. Karena sepertinya, aku telah menemukan rumah untuk kujadikan sandaran. Semoga kali ini perasaanku takkan salah menafsirkan lagi, semoga saja."

"Siapa dia?"

"Hatimu."

Aku tertawa dan mencubit hidungnya karena gemas. Ia pun bersin-bersin seketika, kemudian ia tertawa geli. Katanya, ia akan bersin ketika hidungnya dicubit, sensitif memang. Intinya, aku bahagia hari ini. Aku merasa bersyukur karena Tuhan masih memberikanku anugerah terindah untuk kujaga selamanya, sebisa mungkin.

------------
(Hai haii, jasmine fragrance kembali lagi nih dengan cerpen baru. Cerpen di atas terisnpirasi dari lagunya Lifehouse berjudul You and Me. Harus banget didengerin pas baca cerpen ini ya, biar feelnnya dapet hehe, okay selamat malam readersku! Semoga harimu indah kayak tokoh di cerpen ini ya! )

Kamis, 03 Mei 2018

The Night with Frozen Pine


If I walk through these woods long enough I can see the footsteps we left so many years ago. The trees have grown since then, making the pines look old and ancient, carrying our story within their rings.

I see you everywhere I look. When the rain falls on the golden leaves, they shine like your hair used to. And the green grass that grows in the spring is deep and rich and raw like your eyes. The brown bark of the elms is the same color as those leather shoes you wore to take me dancing on saturday nights.

My heart yearns to touch you just one more time. Most days I wear the white dress with the red wine stain from the night you asked for my hand, just to remember being close to you. Sometimes I remember the carefree bliss we held between us on rainy days, and the smell of roses and old leather bound books take me back to the night we met.

I wander these woods, and they embrace me as their own. They wipe my tears with their evergreen branches, they sing to me with their songbird’s sonnets. At night the stars shine through the swaying trees and I wonder if we gaze at the same sky.

Sometimes I remember the overflowing happiness I held when you were mine, and I look out at the sea below where the forest juts out into a cliff and believe that if I listen closely to the waves hitting the rocks I can hear your laughter within the sweet serenity.

And then I remember that the wine stain on my dress is not a memory, but a reminder of what separated us, and that terrible night when the glass painted the pavement with jagged crystals and torn strips of metal. And the red lights flashed so insistently. They shined intermittently on your scared green eyes as you held my hand tightly, and somehow that sight was more painful than any wound my body held.

And red stained my dress, like a bright rose blossoming, but it was not wine, and it was not beautiful.

I remember that the only time you can see me is as a name on a gravestone, and so I should count myself lucky to see you in the beauty of these woods.

And so I keep on walking with the moonlight as my company, and know that I will wait for the day that your brown leather shoes walk beside me, and we can dance once more to the tune of the timbers, and the only lights that shine on your green eyes will be the shimmer of starlight.

;
This lament was inspired by the song "the night we met" and "frozen pines" by Lord Huron, so enjoy with this one! 💕
#jasminefragrance

Minggu, 22 April 2018

Why I Write?

Hellooooo friends! Long time no see, haha. I have come back after a long time not write about anything here. Uh, I miss you my readers. Do you miss me? Oh come on, you definitely miss me and miss my writing, right? Okay, so I decided to write my reason why I love writing so much!

Ever since I was a little, I have always been known to be writing in notebooks. Every moment, holiday, and the feeling I can't say. I would always ask for new notebooks just so I could write whatever was in my head. It wasn't until my freshman year of high school when I really figured out that writing was my passion more than anything else. There are a few things that I learned to love about it ;

1. I'm more real with myself when I write than I am when I'm not writing
I've come to learn that I post something for the world to see. When I post my words, my ideas, and my heart through my writing, I need to make sure that what I'm writing about actually means something to me. In the past year, I have learned more about myself because I forced myself to dig deep into my heart and find out what going on in there. For me, there's no reason to write and to take up space on the internet if what you write isn't meaningful to you.

2. It has become my therapy
I've learned that I don't do a very good job at telling people how I feel. My words get all jumbled up and what I ended up saying wasn't what I wanted at all. I have found that when I write, I immediately feel better and feel as if what I meant to say, came out the exact way that I wanted.

3. It has become a part of me
I feel as if writing has become my purpose. Like it's what I'm supposed to do. I know that, as a writer, I have a lot to improve on but I don't have to be great writer to do it. I just have to have a notebook and pen.

4. I pay attention to every detail in someone's story
I love the rhythm of writing, the way you can articulate the way your thoughts sound using commas, periods, exclamation points, or all caps. It is amazing that humans have the ability to communicate their inner personal dialogue through a series of marks on a paper. Writing is a communicative tool that connects people in itsuniformity.

5. Being able to write is one of the greatest accomplishments of humanity
I write to express. I feel like myself when I’m writing. I write not for the purpose of being published or the intention of being read, but for the thrill of putting pen to paper. I write for love of the craft, for the sake of writing itself.

6. It opens my mind to new ideas
This happens more often than you think. I'll be writing about something and somehow, that idea I was trying to develop completely turns my head towards another idea. This, I think, is when my best writing comes out. To be completely thrown off into another idea is inspiring.



That's all I can say, happy reading and hope you like it! :)

Surat Untuk Cinyo

Surat Untuk Cinyo, Cinyo, kamu datang dengan segala keluguanmu. Aku tak ingat kapan tepatnya kamu menghampiri rumahku. Yang kutahu hanyala...