Senin, 10 Desember 2018

Kotagede, Saksi Bisu

Udara Jogja malam ini cukup sejuk, bahkan terbilang lebih sejuk dari biasanya. Memang, seharian ini kota diguyur oleh hujan deras yang menyebabkan segala aktifitas menjadi terhambat hingga menyebabkan suhu udara menjadi lebih dingin. Untung saja malam hari hujan berhenti, mungkin ia memberiku kesempatan di hari terakhirku berkunjung menemuinya di kota ini. Aku memasukkan kedua tanganku ke dalam saku jaket. Ia yang berjalan di sebelahku hanya menatap lurus ke depan. Sesekali menatapku beberapa detik. Namun, tiap kali aku menangkap tatapannya, ia melempar pandangan ke arah lain seperti orang yang panik ketika pujaanmu tersadar bahwa kau memperhatikannya sedari tadi. Kami berkeliling sekitar Kotagede, kota yang dikenal sebagai daerah pengrajin perak peninggalan kerajaan Mataram. Masa remaja kami telah usai—habis tergantikan oleh usia yang menginjak dua puluhan. Aku merindukan saat-saat itu. Di mana, tiap sepulang sekolah kami selalu makan bakso di tempat langganan, kehujanan bersamaan lantaran aku tidak ingin memakai payung dan memilih hujan-hujanan, sedangkan ia hanya mengikutiku, padahal aku tidak memaksanya. Banyak yang tak bisa kuceritakan karena momen itu tidak bisa dihitung dengan jari. Sudah lama aku tidak bersua dengannya, bahkan kedatanganku ke Jogja sebenarnya bukan untuk menemuinya, melainkan tuntutan pekerjaan.

"Kenapa? dingin? sini, tangannya masukin jaketku aja. Lebih hangat,"

aku sedikit terkejut ketika ia merangkulku dan menaruh tanganku dalam saku jaketnya. Ia menggenggamnya seakan tahu aku kedinginan, padahal aku menyukai saat-saat kedinginan seperti ini agar bisa dipeluk. Haha, bukan, tentu bukan itu alasannya. Aku memang menyukai cuaca yang sejuk seperti ini. Namun ia memanfaatkannya agar bisa menggenggam tanganku sepertinya.

"Memangnya aku mengizinkanmu buat menggenggamku? nggak, kan? aku nggak kedinginan. Lagipula, aku sudah nyaman dengan saku jaketku sendiri."

"Hmm, kamu ingat?" ia mulai menerawang masa lalu, pikirannya seolah sedang menemui masa lampau yang sudah lama berdebu. "Dulu, aku berjuang sekali untuk mendapatkanmu dan aku sekarang ingin sate sapi yang itu tuh," ia menunjuk sebuah kedai yang berada di Lapangan Karang. Sate sapinya lumayan ramai dipenuhi pengunjung tiap malam.

"Ya, terus apa hubungannya dengan sate?"

"Aku lapar."

"Gak ada yang nanya."

"Jahat ih,"

"Kamu baru tahu, ya? sudah kenal aku berapa lama?"

"Kemarin sore. Ya, belasan tahunlah. Gimana sih mbak ayune ini." Aku hanya diam menatap ruas jalanan yang dipenuhi lalu-lalang kendaraan. "Kenapa diam? ternyata masih sama ya, gak suka sate sapi. Padahal enak banget. Ya sudah, aku ke sana duluan, ya. Kamu tunggu sini," lanjutnya.

"Eh tunggu, aku ikut."  Aku mengikutinya dari belakang setelah ia berlari kecil menghampiri kedai itu.

Antrean panjang memenuhi barisan, sementara ia sudah berdiri di deretan paling pertama setelah mengantre sekitar sepuluh menit. Ia tetap membelikanku sate itu padahal ia tahu aku tak menyukainya. Katanya, ia sengaja membelikanku. Meskipun aku tak akan memakannya, setidaknya sate itu akan tetap berada dalam genggamanku sampai kedaluwarsa. Sama halnya seperti dirinya yang takkan pernah bisa kugenggam hingga hati ini telah melupa. Sebab kutahu pertemuan ini hanyalah sementara. Besok aku akan kembali lagi ke Jakarta setelah tugas selesai. Artinya, pertemuanku dengannya juga usai dimakan waktu. Aku begitu bingung dengan dirinya yang kerap kali berkata bahwa perasaannya terhadapku adalah kekal, namun bagiku yang kekal adalah kematian. Apalagi ini hanyalah secuil perasaannya padaku yang aku yakin tidak ada apa-apanya, mungkin saja ia tertarik padaku karena aku cantik. Tetapi ia belum tahu kalau aku ini monster yang menggemaskan.

"Jasmine, boleh aku tanya satu hal?" tanyanya disela keheningan.

"Iya, silakan."

"Kenapa kamu gak suka sate sapi?"

"Harus banget dijawab?"

"Iya dong."

"Oke, karena aku selalu ingat orang lain tiap aku melihatmu makan sate sapi kedai itu."

"Siapa dia?"

"Gak perlu tahu, gak penting juga. Rahasia hati."

"Siapa dia?" kali ini nada suaranya sedikit menghentak seakan ia harus tahu siapa lelaki yang sudah menempati ruang hatiku lebih dulu.

"Orangnya sudah gak ada, sudah pergi ke planet lain."

"Jangan bercanda."

"Kok jadi jutek sih? aku serius."

"Aku kecewa."

"Mau pergi? silakan. Aku nggak melarangmu kok."

"Aku selalu ikhlas tiap kali kamu tak mengacuhkanku. Aku rela kamu cabik-cabik hatinya dan aku selalu membantumu bangkit. Lalu, ini yang kudapat?"

"Sebentar, memang ada yang menyuruhmu untuk menetap? aku tidak pernah memintamu, Anggar!"

"Baiklah kalau seperti itu maumu. Kurasa, perjuanganku sudah selesai. Aku sudah tidak ingin menjadi pahlawan kesianganmu lagi."

"Aku tidak pernah memintamu, lagipula aku tidak pernah menaruh harap. Justru kamu yang berlebihan. Kamu tidak boleh menaruh harap yang berlebih pada seseorang. Jika orang itu tidak menerimamu, kamu yang akan sakit sendirian. Kamu sendiri yang akan menanggung lukanya. Sudah tahu aku jahat, tapi masih saja dikejar. Kalau sudah begini, aku yang disalahkan. Cinta itu nggak bisa dipaksakan, Anggar! sudahlah, ikhlaskan saja. Terkadang di dunia ini, kita harus mengikhlaskan apa pun itu termasuk mencintai. Memang itu sulit, tapi kuyakin kamu bisa. Kalau kamu tidak bisa ikhlas, ya begini jadinya. Kamu akan bisa marah dan menyalahkanku seolah aku orang terjahat sedunia. Ya, memang sebenarnya aku jahat!" aku menekan sedikit intonasiku sehingga ia sedikit geram.

"Aku tidak tahu sampai kapan, tetapi yang terpenting adalah kamu. Kamu harus tahu bahwa hati kecilku masih menginginkanmu, sejauh apa pun jaraknya."

Perlahan, rinai hujan kembali turun membasahi bumi. Ia mendekatkan tubuhnya ke arahku dan mengecup keningku, kemudian berbalik badan dan berjalan menjauh. Aku menganggap kecupannya sebagai kecupan perpisahan. Aneh, aku tak pernah merasakan degupan jantung yang amat kencang seperti orang yang sedang dimabuk asmara saat bersamanya ketika dalam jarak dekat seperti tadi. Berbeda ketika aku berdua dengan pria yang terlanjur mengisi hatiku terlebih dahulu, namun ia sudah meninggalkan bumi sekitar setahun yang lalu setelah kepergiannya. Hari mulai larut, menunjukan pukul setengah satu dini hari. Suasana kota juga masih lumayan ramai, namun aku seperti sendirian di tengah ramainya kota setelah pertikaian terjadi. Saking ramainya, tak ada yang menyadari bahwa kedua insan sedang bertikai. Biarkan rinai hujan di Kotagede menjadi saksi bisu antara dua insan yang egois saling menggebu tak mau mengalah perihal perasaan. Antara mengikhlaskan cinta dan juga tidak. Bagaimana mungkin aku semudah itu mempercayainya sebagai rumah tuk melepas penat sementara ia sudah lelah dengan percobaan yang kuberi. Salahkah jika aku meragu? Mungkin, dirinya hanya tercipta untuk mengisi hariku yang sepi, tapi tidak untuk penghuni hati, karena hatiku masih menolak untuk menemui rumah pada hatinya yang sebenarnya sama sepertiku—kosong.

#30DWC #30DWCJilid16 #Day1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Surat Untuk Cinyo

Surat Untuk Cinyo, Cinyo, kamu datang dengan segala keluguanmu. Aku tak ingat kapan tepatnya kamu menghampiri rumahku. Yang kutahu hanyala...