Sabtu, 01 Desember 2018

Senja Bersama Jani

Suara burung camar terdengar kencang di udara, kicaunya mengisi ruang hampa di hati lelaki itu. Sepoi angin segera membelai rambutnya begitu ia berpijak pada pasir pantai. Ia tahu, tempat ini akan selalu menjadi tempatnya untuk pulang. Ditemani keindahan senja yang begitu mempesona. Awan berarak mengikuti arahnya angin. Mereka berarak sangat pelan dan rapi seperti tak mau pisah satu sama lain, lalu tersirat warna jingga di dalamnya. Langit senja memang selalu membuatnya nyaman. Ia tak salah jika menjadikan tempat ini sebagai rumah keduanya untuk melepas penat setelah ia memutuskan untuk menitipkan hatinya pada gadis itu, Jani.

"Gimana? suka nggak sama langitnya?" tanya Ginda pada seorang gadis yang duduk di sampingnya.
"Suka, langitnya cantik."
"Iya, sama cantiknya kayak kamu."
"Ginda, jangan gombal deh! ia menyenggol siku pria itu dengan geram.
"Haha, kayaknya cuma kamu deh yang kalau dipuji tuh selalu gak suka."
"Emang gak suka."
"Kamu tahu? semakin kamu begitu, aku semakin suka."
"Suka doang kan? belum sayang?"
"Udah kok, udah sayang. Dari dulu, tapi kamu selalu menghiraukannya."
"Karena aku gak mau kamu masuk ke dalam duniaku."
"Kenapa?"
"Duniaku rapuh, gelap, gak ada cahaya, nanti kamu tersesat.
"Sini, aku bantu keluar."
"Aku ragu."
"Apalagi yang harus diragukan, Jani? apakah aku belum bisa membuatmu yakin padaku?"

Gadis itu hanya diam, tak memberi jawaban. Pikirannya beterbangan ke mana-mana. Mengingat ia tak akan bisa semudah itu percaya dengan cinta. Katanya, jatuh cinta bisa membuatmu senang. Namun, ia masih meragukannya setelah ia melihat kisah cinta ayah bundanya harus berakhir memilukan. Tanpa sengaja, hal itu membuatnya sangat sakit dan tak henti-hentinya ia jatuh ke dalam lubang yang dalam.

"Jani, dengarlah. Aku tak pernah berbicara mengada-ada. Aku tak pernah mengarang cerita kepadamu. Yang kukatakan padamu, itu selalu mengenai faktanya. Fakta bahwa aku telah menitipkan keseluruhan hatiku hanya untukmu."
"Jangan gitu, ah. Banyak yang lebih cantik dariku. Jangan titipkan hatimu padaku, aku tak mau merusaknya."
"Tapi, jika aku maunya kamu, gimana?"
"Ya, gak gimana-gimana."

Ginda menarik lengan Jani dan meletakkan telapak tangan gadis itu pada dadanya, "Jani, coba dengar. Apakah kamu mendengar bunyi ini? bunyi detak jantungku? bunyi yang selalu membuatku hampir gila tiap berada di dekatmu? iramanya melaju begitu cepat, untung saja jantungku tidak copot di hadapanmu."

"Haha, kalau copot, apakah itu akan menyakitimu?"
"Tidak, kalau kamu sendiri yang akan mencopotnya."
"Kalau orang lain?"
"Aku tak membutuhkan orang lain untuk mencopotnya. Aku hanya butuh kamu"
"Aduh, Ginda, udahlah."
"Jani, kapan kamu akan menyayangiku?"
"Gak tahu."
"Secepatnya, ya?"
"Gak janji."
"Baiklah, aku menyayangimu tanpa harapan, Jani. Setidaknya, izinkan aku menyayangimu walaupun aku tak tahu kapan tepatnya kamu akan kembali menyayangiku."
"Lho, katanya gak berharap?"
"Aku hanya tak ingin membuat tuan putriku pusing memikirkannya. Udah, jangan dipikirin. Mending mikirin aku aja."

Jani mendorong pelan tubuh Ginda karena sebal. Baginya, pria itu sangat kegeeran. Tetapi entah kenapa, setiap perkataan yang keluar dari mulutnya selalu membuat gadis itu merasa aman dan tak sendiri. Namun tetap saja ia berpegang teguh pada pendiriannya bahwa ia masih belum bisa mempercayai cinta seutuhnya lantaran hatinya masih diselimuti oleh abu yang tebal. Ginda hanya mengacak-acak rambut gadis itu dengan pelan sambil tertawa. Pria itu memang tidak berharap lebih, hanya dengan melihat dan menatap gadis itu, kemudian memastikan bahwa tidak terjadi apa-apa dengan gadisnya, itu sudah lebih membahagiakannya dibandingkan melihat gadisnya murung. Bahagianya hanya sesederhana itu. Gadis bernama lengkap Senjani itu memang telah merebut segala perhatian Ginda dari dunianya sejak dua tahun terakhir. Senja pun tenggelam dengan sinarnya yang indah. Mengakhiri percakapan dua insan yang sedang dilanda asmara, meskipun hanya satu yang berbunga-bunga.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Surat Untuk Cinyo

Surat Untuk Cinyo, Cinyo, kamu datang dengan segala keluguanmu. Aku tak ingat kapan tepatnya kamu menghampiri rumahku. Yang kutahu hanyala...