Sabtu, 12 Mei 2018

Lost in the Middle


Angin menyambar-nyambar malam ini. Aku bersumpah, dinginnya menggerogoti kulitku yang meronta ingin segera dilekatkan sebuah jaket. Lantas kutersadar, tak akan ada orang yang menemaniku di sini, di tempat persembunyianku. Jika kau menanyakan tentang bagaimana keadaanku sekarang, aku berantakan—hampir tidak bernapas dengan sakit yang amat dalam di dadaku. Namun kuyakin, di setiap kesakitan selalu ada penyembuhan. Apa kau mempercayainya?

Aku menemukan kenyamanan di tempat gelap temaram cahaya seperti ini, entah mengapa. Hanya ditemani oleh suara burung malam yang berkicau di sekelilingku, redupnya lampu menambah suasana menyeramkan tetapi melankolis. Memoriku kembali berkelana, mengingat sekeping memori di masa lalu akan lagu berjudul Hello dari Evanescence dibagian, "has no one told you she's not breathing? Hello, I'm your mind giving you someone to talk to." Lirik itu mencabikku, mengingatkanku pada adikku yang sudah tiada dan aku rela bersembunyi di tempat peristirahatannya sendirian. Aku memang selalu sendiri, kesendirian adalah temanku sejak dulu.

Tidak, jangan mencoba untuk memperbaikiku. Aku baik-baik saja, aku tidak gila, aku hanya merasakan kekosongan dan tidak bisa berbuat apa-apa selain berlari ke tempat ini dan menangis. Aku paham, menangis meraung-raung di tempat peristirahatan orang yang telah tiada memang tiada guna. Ia tak akan memelukku namun setidaknya hatiku sedikit lebih lega setelah itu. Apa kau merasakannya? Aku tahu kau ingin menemaniku, kan? Jangan dulu, ya? Aku ingin sendirian saat ini, hatiku masih terlalu rentan.

Tersesat? Ya, aku tersesat. Tersesat dalam jiwa yang tak tahu arah. Tak tahu jalan pulang. Kini yang kutahu hanyalah mengambil sisa kesempatan, peluang di mana aku bisa menangis sepuasnya, sejadi-jadinya sampai wajahku merah berantakan. Lalu, apa yang kan terjadi setelah itu? Pingsan dan menemukan diriku berada di rumah sakit saat itu. Ternyata petugas di sana membawaku ke rumah sakit dan aku sempat koma beberapa hari, tragis sekali.

Kalau diibaratkan, aku sudah tak mau lagi berteman dengan kesedihan. Aku ingin ia menghilang dan lenyap dari kehidupan. Maukah kau membantuku? Baiklah, untuk yang terakhir kalinya aku permisi mundur, mundur dari kehidupan. Jangan cari aku, ya? Aku akan aman dan baik-baik saja. Kau mengerti?


-------------------
(Kali ini, cerpennya juga terinspirasi dari lagu Lifehouse berjudul Broken. Nggak, penulisnya gak lagi broken kok. Ini tulisan kemarin malam buat challenge harian, saya juga takut nulisnya karena serem, tapi buat tantangan aja wkwk. Jangan lupa dengerin juga lagunya ya biar kebawa emosinya hahaha! *Sstt dan karena penulisnya juga lagi seneng sama Lifehouse ini, suaranya enaaak didenger, gak kayak suara saya sember wkwk boong deng)

Mencari Kepingan Hati


Aku mencarinya, mencari sosok seorang gadis yang telah mampu membuat diri ini tak berdaya ketika netraku bertemu tatap dengannya. Langkahku berhenti di sebuah stasiun. Kata orang di sekitarku, ia akan pergi meninggalkan kota ini, entah tujuannya untuk apa. Derap langkahku masih sibuk mencari, netra menerawang, dan membayangkan di mana posisinya berada. Berbagai sudut tempat yang terletak di tempat ini telah kutelusuri, namun hasilnya tetaplah nihil. Aku bahkan tak tahu harus berbuat apalagi untuk menemukannya, seakan jarum jam pun enggan tuk berdetik. Menambah waktu yang kian lama bergulir dengan cepat. Aku tak bisa mengejarnya, namun aku juga tak bisa mundur dalam situasi seperti ini. Tanpa kusadari, ia membuatku kepalaku sedikit berdenyut karena memikirkannya. Aku tak tahu apa yang akan terjadi bila aku tak bisa lagi memandangnya. Aku mengacak rambutku, aku tahu ini salahku, aku yang terlambat untuk mengungkapkan semuanya bahwa aku menyayanginya. Sungguh, ia telah menyita semua perhatianku. Apapun yang ia lakukan terasa indah dan benar di mataku.

Aku mencoba menepuk bahu seorang gadis yang sedang melihat papan jadwal keberangkatan kereta, ia berbalik arah dan memandangku. Namun yang kutemukan bukanlah dirinya, aku salah sasaran. Orang itu kembali lagi menatap jadwal. Jujur, tak pernah sebelumnya aku mengalami hal seperti ini. Ia membuatku frustasi tanpa sengaja. Bahkan rasa lelahku tak ada artinya dan akan lebih sakit jika aku gagal menemukannya.

Aku memberanikan diri kemudian menuruni anak tangga yang mengarah di mana kereta tersebut akan datang menjemput sang penumpang. Berulang kali diriku dihadang oleh petugas karena aku sama sekali tidak mempunyai tiket, aku hanya mempunyai sebuah kartu tanda penduduk dan surat izin mobilku. Tetap saja petugas menghadangku, aku tak akan lengah begitu saja. Sebisa mungkin aku memohon agar diizinkan memasuki peron area di mana penumpang beranjak memasuki kereta, dewi fortuna akhirnya datang membantuku. Petugas memberiku jalan, aku dipersilahkan memasuki tempat yang kutuju. Netraku kembali berkelana. Aku melihat sekelebat bayangan dirinya yang sedang duduk di kursi sembari menunggu kereta datang. Benar, dugaanku tidak salah. Itu adalah dirinya, perjuanganku tidak sia-sia.

"Eh, hai.. aku mencarimu," sial, mengapa degup jantungku menjadi tak beraturan ketika kumenyapanya. Aku bahkan tak berani untuk menatap matanya kali ini. Untuk kali pertama aku tidak berani menatapnya dari jarak dekat.

"Mencariku? untuk apa?" Ungkapnya penasaran, oh Tuhan, ia menatapku. Aku tak tahu harus bagaimana menghadapinya. Aku menjadi sangat kacau sepertinya.

"Aku ingin memberikan kartu ini." Aku mengeluarkan sebuah kartu dari dalam kantung celanaku. Aku ingat, dulu aku pernah mengukir namanya di sebuah kartu tanpa sengaja, kemudian kuberikan kartu sederhana itu padanya. Tak seberapa indah, hanya terukir namanya di sana dan betapa bahagianya aku ketika ia tersenyum riang ketika melihatnya.

"Ehm.. sederhana sekali, tapi aku suka." Bibir mungil itu mengulas sebuah senyum, rona merah terpampang jelas di wajahnya yang berseri.

"Oh ya? terimakasih banyak." Tanpa aba-aba aku langsung memeluknya, tak akan membiarkannya pergi lagi dari hadapanku. Yang dipeluk hanya terkejut, tak lama kemudian ia membalas pelukanku dan membuat tubuhku terasa kaku.

"Aku tak mau kau pergi."

"Aku tak akan pergi, hanya ingin singgah sebentar ke tempat lain. Karena sepertinya, aku telah menemukan rumah untuk kujadikan sandaran. Semoga kali ini perasaanku takkan salah menafsirkan lagi, semoga saja."

"Siapa dia?"

"Hatimu."

Aku tertawa dan mencubit hidungnya karena gemas. Ia pun bersin-bersin seketika, kemudian ia tertawa geli. Katanya, ia akan bersin ketika hidungnya dicubit, sensitif memang. Intinya, aku bahagia hari ini. Aku merasa bersyukur karena Tuhan masih memberikanku anugerah terindah untuk kujaga selamanya, sebisa mungkin.

------------
(Hai haii, jasmine fragrance kembali lagi nih dengan cerpen baru. Cerpen di atas terisnpirasi dari lagunya Lifehouse berjudul You and Me. Harus banget didengerin pas baca cerpen ini ya, biar feelnnya dapet hehe, okay selamat malam readersku! Semoga harimu indah kayak tokoh di cerpen ini ya! )

Kamis, 03 Mei 2018

The Night with Frozen Pine


If I walk through these woods long enough I can see the footsteps we left so many years ago. The trees have grown since then, making the pines look old and ancient, carrying our story within their rings.

I see you everywhere I look. When the rain falls on the golden leaves, they shine like your hair used to. And the green grass that grows in the spring is deep and rich and raw like your eyes. The brown bark of the elms is the same color as those leather shoes you wore to take me dancing on saturday nights.

My heart yearns to touch you just one more time. Most days I wear the white dress with the red wine stain from the night you asked for my hand, just to remember being close to you. Sometimes I remember the carefree bliss we held between us on rainy days, and the smell of roses and old leather bound books take me back to the night we met.

I wander these woods, and they embrace me as their own. They wipe my tears with their evergreen branches, they sing to me with their songbird’s sonnets. At night the stars shine through the swaying trees and I wonder if we gaze at the same sky.

Sometimes I remember the overflowing happiness I held when you were mine, and I look out at the sea below where the forest juts out into a cliff and believe that if I listen closely to the waves hitting the rocks I can hear your laughter within the sweet serenity.

And then I remember that the wine stain on my dress is not a memory, but a reminder of what separated us, and that terrible night when the glass painted the pavement with jagged crystals and torn strips of metal. And the red lights flashed so insistently. They shined intermittently on your scared green eyes as you held my hand tightly, and somehow that sight was more painful than any wound my body held.

And red stained my dress, like a bright rose blossoming, but it was not wine, and it was not beautiful.

I remember that the only time you can see me is as a name on a gravestone, and so I should count myself lucky to see you in the beauty of these woods.

And so I keep on walking with the moonlight as my company, and know that I will wait for the day that your brown leather shoes walk beside me, and we can dance once more to the tune of the timbers, and the only lights that shine on your green eyes will be the shimmer of starlight.

;
This lament was inspired by the song "the night we met" and "frozen pines" by Lord Huron, so enjoy with this one! 💕
#jasminefragrance

Surat Untuk Cinyo

Surat Untuk Cinyo, Cinyo, kamu datang dengan segala keluguanmu. Aku tak ingat kapan tepatnya kamu menghampiri rumahku. Yang kutahu hanyala...