Aku benci Desember. Ia adalah satu-satunya
bulan yang ditunggu oleh banyak orang hanya untuk menyambut pergantian tahun.
Aku mengerti, Desember diciptakan untuk memisahkan, kemudian ia juga digunakan untuk menyambut hal baru yang akan datang di tahun berikutnya. Namun, aku belum
siap untuk melepaskan semua yang ada di tahun ini. Aku masih ingin seperti ini,
aku tidak mau menua. Salahkah aku bila berpikir seperti ini? Apa aku terlalu
egois sebab tidak ingin berpisah dengan memori yang lalu? Lagipula, di tahun yang
akan datang, aku tetaplah aku. Aku tidak akan berubah. Lalu, apa yang harus
disambut? Menunggu hadirnya diriku yang baru?
Aku benci Desember. Seharusnya aku
berbahagia, namun nyatanya kesenduan lebih senang menghampiri dan bermain-main
di benakku dibanding kebahagiaan. Layaknya teman semasa kecil yang selalu
memanggil namaku untuk bercengkrama. Sepertinya, aku sudah lumayan akrab dengan
sebuah hal yang bernama kecewa, sengkarut, sendu, sendirian, mereka adalah
sahabat karibku. Tidak ada yang lain. Aku tidak seperti kamu yang hidupnya
banyak rasa dan varian warna. Hidupku sudah penuh oleh awan kelabu. Hanya hujan
yang selalu bersedia menutupi tangisanku kala gundah menyerbu.
Sementara, masih ada aku di sini yang tak
ingin terburu-buru berganti tahun. Untuk apa? Toh, bagiku tidak ada bedanya.
Malam pergantian tahunku tidak ada yang spesial beberapa tahun silam. Mungkin
mereka menganggap Desember adalah bulan yang paling membahagiakan selain bisa
berlibur sembari merayakan tahun baru, namun bagiku itu tidak.
Aku sendirian. Aku selalu sendirian. Bahkan
di hari kelahiranku tepat di bulan penutupan tahun, aku sendirian. Tidak ada
satu pun yang mengingatnya, termasuk keluarga. Mereka asyik sendiri dengan
hidupnya. Sedangkan hariku hanya ditemani sebatang lilin yang menerangi hariku
yang kelam. Tenang saja, aku sudah biasa seperti ini dengan cara dilupakan. Aku
sudah biasa dihiraukan. Kamu tak perlu mengkhawatirkanku, juga tak perlu merasa
bersalah. Sebab, sesuatu yang sudah biasa terjadi, akan berjalan biasa saja—tentunya
dengan hati yang sudah berdarah. Tetapi, jangan salahkan aku seandainya aku
mati rasa. Karena sebilah belati telah lebih dulu menikam hatinya saat rasa itu sedang tumbuh bermekaran.
#30DWC #30DWCJilid16 #Day7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar