Minggu, 16 Desember 2018

Aku Benci Desember


Aku benci Desember. Ia adalah satu-satunya bulan yang ditunggu oleh banyak orang hanya untuk menyambut pergantian tahun. Aku mengerti, Desember diciptakan untuk memisahkan, kemudian ia juga digunakan untuk menyambut hal baru yang akan datang di tahun berikutnya. Namun, aku belum siap untuk melepaskan semua yang ada di tahun ini. Aku masih ingin seperti ini, aku tidak mau menua. Salahkah aku bila berpikir seperti ini? Apa aku terlalu egois sebab tidak ingin berpisah dengan memori yang lalu? Lagipula, di tahun yang akan datang, aku tetaplah aku. Aku tidak akan berubah. Lalu, apa yang harus disambut? Menunggu hadirnya diriku yang baru?

Aku benci Desember. Seharusnya aku berbahagia, namun nyatanya kesenduan lebih senang menghampiri dan bermain-main di benakku dibanding kebahagiaan. Layaknya teman semasa kecil yang selalu memanggil namaku untuk bercengkrama. Sepertinya, aku sudah lumayan akrab dengan sebuah hal yang bernama kecewa, sengkarut, sendu, sendirian, mereka adalah sahabat karibku. Tidak ada yang lain. Aku tidak seperti kamu yang hidupnya banyak rasa dan varian warna. Hidupku sudah penuh oleh awan kelabu. Hanya hujan yang selalu bersedia menutupi tangisanku kala gundah menyerbu.

Sementara, masih ada aku di sini yang tak ingin terburu-buru berganti tahun. Untuk apa? Toh, bagiku tidak ada bedanya. Malam pergantian tahunku tidak ada yang spesial beberapa tahun silam. Mungkin mereka menganggap Desember adalah bulan yang paling membahagiakan selain bisa berlibur sembari merayakan tahun baru, namun bagiku itu tidak.

Aku sendirian. Aku selalu sendirian. Bahkan di hari kelahiranku tepat di bulan penutupan tahun, aku sendirian. Tidak ada satu pun yang mengingatnya, termasuk keluarga. Mereka asyik sendiri dengan hidupnya. Sedangkan hariku hanya ditemani sebatang lilin yang menerangi hariku yang kelam. Tenang saja, aku sudah biasa seperti ini dengan cara dilupakan. Aku sudah biasa dihiraukan. Kamu tak perlu mengkhawatirkanku, juga tak perlu merasa bersalah. Sebab, sesuatu yang sudah biasa terjadi, akan berjalan biasa saja—tentunya dengan hati yang sudah berdarah. Tetapi, jangan salahkan aku seandainya aku mati rasa. Karena sebilah belati telah lebih dulu menikam hatinya saat rasa itu sedang tumbuh bermekaran. 

#30DWC #30DWCJilid16 #Day7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Surat Untuk Cinyo

Surat Untuk Cinyo, Cinyo, kamu datang dengan segala keluguanmu. Aku tak ingat kapan tepatnya kamu menghampiri rumahku. Yang kutahu hanyala...