Selasa, 18 Desember 2018

Masa Silam

Lanjutan cerita berjudul Kota Pelarian yang sudah saya post sebelum ini.

                                       ****

Perempuan itu menyesap green tea latte hangatnya yang masih mengepulkan asap. Ia berada di sebuah kafe di tengah kota dengan kendaraan yang ramai berlalu-lalang. Dengan syal yang dililitkan di lehernya dan juga jaket yang dikenakan pada tubuhnya, menjadikan dirinya hangat dari suasana dingin yang sedang melanda kota Delft. Lagi-lagi ia melamun. Memorinya kembali berkelana pada masa silam sebelum ia memutuskan untuk pergi jauh.

Suara hentakkan yang dibuat oleh wanita paruh baya itu membuatnya geram. Ia merupakan tante Nadeen yang kebetulan menetap di kediamannya. Namun kerap kali gadis itu sering menjadi objek kekesalannya dikala wanita paruh baya itu sedang mengamuk. Pecahan piring berserakan di mana-mana akibat emosi wanita itu yang tidak terkontrol. Nadeen yang hanya bisa diam menggerutu dalam hati akhirnya menangis tanpa ada yang mengetahuinya. Ia menyembunyikan rapat-rapat wajahnya dengan rambutnya yang panjang.

"Nadeen! kamu tuh ya, bisanya cuma diam! kerjaannya pulang malem gak karuan! ngapain aja? mabok? hah?! gak pernah inget sama orang rumah. Orang tuamu sibuk, bahkan mungkin sudah lupa dengan adanya kamu. Lalu, sekarang kamu ikut-ikutan sok sibuk?!" wanita itu terus memarahinya, sesekali memukulnya dengan codet. Sesungguhnya, wanita itu tidak pernah mengetahui apa-apa tentang Nadeen. Yang ia tahu, Nadeen pulang malam dikarenakan asyik dengan dunia malam, tapi ia salah besar. Nadeen memang mempunyai jabatan yang cukup memegang andil perusahaan di usianya yang masih berusia 22 tahun. Ia dipercaya bosnya untuk menjadi tangan kanannya. Dengan tugasnya yang menggunung, ia menjadi sering pulang larut lantaran lembur. Sesungguhnya gadis itu anak baik-baik dan juga pintar. Tak heran ia dipercaya menjadi tangan kanan bosnya di usianya yang masih terbilang belia.

"Sudahlah, tante gak tahu apa-apa! lebih baik diam saja!" ucap gadis itu tak kalah sewotnya.

"Nadeen! diam kamu! pergi kamu dari sini! aku yakin orang tuamu juga tidak menginginkanmu lagi! makanya mereka pergi dan tidak pernah menelponmu, kan? hahaha, aku ini tahu betul siapa mereka. Kamu sudah tak punya hak untuk berada di sini!"

"Apa-apaan?! ini rumahku! kau tidak ada hak untuk mengusirku. Seharusnya kamu yang angkat kaki dari rumah ini, bukan aku!"

PLAK! Sebuah tamparan mendarat di pipi mungil tersebut. Nadeen berlari ke kamar dan buru-buru mengepakkan barang-barangnya dengan tangis yang berceceran di wajahnya. Hatinya sangat hancur dan terluka mendengar omongan tantenya—orang kedua yang dipercayainya setelah orang tuanya justru menikam hatinya lebih dalam. Sejauh ini, ia belum mendengar kabar mengenai ayah ibunya. Mungkin benar apa kata wanita paruh baya itu, orang tuanya juga tidak peduli tentang dirinya. Maka dari itu, ia melarikan diri tanpa berpikir apa pun dan segera melesat menuju bandara. Kota Delft yang berada di Netherland menjadi pilihan gadis itu tanpa perlu berpikir lama. Ia sudah tak peduli dengan segalanya. Pikirannya sudah kacau-balau. Ia pergi meninggalkan Jakarta dengan kondisi hati yang hancur.

Itulah yang menjadi alasan kuat mengapa ia memutuskan untuk pergi jauh. Hatinya belum cukup kuat untuk kembali pada kenyataan. Ia khawatir akan gila jika kembali ke sana dalam kurun waktu dekat. Ia hanya ingin pergi—pergi menjauh, melupakan segalanya yang telah membunuh jiwa positifnya yang sekarang digantikan oleh jiwa negatif dari dirinya. Ia tak membiarkan seorangpun mengetahui  keberadaannya sekarang, termasuk bosnya. Ia merelakan jabatannya hancur dan memilih ke luar negeri untuk menenangkan diri sejenak.

#30DWC #30DWCJilid16 #Day9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Surat Untuk Cinyo

Surat Untuk Cinyo, Cinyo, kamu datang dengan segala keluguanmu. Aku tak ingat kapan tepatnya kamu menghampiri rumahku. Yang kutahu hanyala...