Senin, 17 Desember 2018

Pengagum Rahasia

Untukmu, yang selama ini hanya bisa kukagumi dalam diam; apa kabar?

Ah, aneh sekali aku ini. Kenapa pula aku harus repot bertanya? Toh sejujurnya aku sudah tahu kabar beritamu. Setiap pagi setelah ibadah dan bebersih badan, melihat aktivitasmu di media sosial sudah menjadi kebiasaan yang tak pernah kulewatkan. Kalau saja kau menemukan tulisan ini dan tahu bahwa kata-kata yang sedang kau baca adalah tentangmu, kujamin kau hanya akan terkekeh pelan mengetahui betapa picisannya aku.

Tapi untuk hari ini, aku ingin kau tahu sesuatu. Aku tak peduli jika kau bilang aku pecundang. Kau juga boleh menganggapku orang yang tak punya keberanian. Saat kalimat pengakuan hanya bisa kuucapkan dengan terbata, izinkan tulisan ini jadi perantaranya.

Apa kau masih ingat kala itu? Pertemuan singkat di sore hari. Di mana aku sedang menunggu angkutan umum datang sembari menunggu hujan reda. Lalu kau datang sekadar menyapa, kemudian melampirkan jaketmu di bahuku agar aku tak kedinginan katamu. Setelah itu, kau mencoba melontarkan guyonan yang membuatku terkekeh. Tentu saja kita tidak berdua. Ada teman-teman di sekitaran. Anehnya, meski hanya sekilas, perjumpaan denganmu tak bisa begitu saja kulupakan.

Sampai hari ini aku masih ingat suara tawamu yang renyah. Bagaimana ujung matamu berkerut ketika tersenyum lebar. Bagaimana bola matamu membesar dikala menatapku. Kau yang sering merapikan rambut saat sedang gugup, padahal kutahu rambutmu tidak berantakan. Juga bibirmu yang otomatis kau gigit saat tak bisa menjawab berbagai celotehan yang kami lontarkan. Aku merasa kau orang yang menyenangkan. Aku ingin mengenalmu lebih dalam.

Pertemuan kita berikutnya pun tak kalah menarik. Kau dan aku bertemu di acara makan bersama, berbagi meja dan mengambil lauk dari satu piring yang sama. Di tengah kelakar teman-teman yang memekakakkan telinga, senyuman ramah itu kembali kutemukan. Melihat sunggingan bibirmu saja sudah membuatku meremang. Ah, atau hanya aku yang terlalu percaya diri merasa bahwa senyuman itu untukku?

Mulai saat itu, aku ingin menciptakan momen agar kita bisa kembali bersama. Memendam rasa seperti ini kadang membuatku merasa gila. Mengagumimu sekian lama, tanpa sadar membentukku jadi pengamat tingkat dewa.

Buatku, ujian terberat adalah saat kita harus duduk berhadapan—mau tak mau harus saling berpandangan. Aku khawatir kau bisa menangkap binar lain dari mataku. Jika kau pandangi dengan dalam sekian lama, bisa-bisa rasa yang selama ini kusimpan erat tumpah—menguak ke udara. Aroma cinta yang telah kulipat rapi sekian lama tak bisa kujamin tak sampai ke hidungmu yang hanya sejengkal dekatnya. Meski tanpa harus saling memandang mata, ketahuilah bahwa kau dan hal-hal kecil tentangmu tak pernah tersingkir dari kepala

Menyukaimu sekian lama memang membuatku jadi orang yang pintar membaca pertanda. Mataku terbiasa menyapu lobby kampus mencari dirimu yang biasa duduk rapi sembari menggendong tas. Jika dirimu tak ada, tandanya kau sedang sibuk dengan kegiatan sampinganmu yang memang bejibun jumlahnya. Atau, kau hanya sedang malas dan ingin merebahkan badan saja sepanjang hari—membayar jam tidur yang sudah tergadai sepekan lalu.

Kau barangkali tak menyadari betapa aku memperhatikanmu. Kau memang tak perlu tahu. Cukup kupastikan hidupmu berjalan mulus dan tak ada kekurangan. Hanya memandangmu dari jauh pun, aku tak pernah keberatan.

#30DWC #30DWCJilid16 #Day8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Surat Untuk Cinyo

Surat Untuk Cinyo, Cinyo, kamu datang dengan segala keluguanmu. Aku tak ingat kapan tepatnya kamu menghampiri rumahku. Yang kutahu hanyala...