Selasa, 01 Januari 2019

Stay

Di bawah naungan gedung bertingkat New York kita berpijak. Jemari kami saling bertautan tak mau lepas. Tak henti-hentinya aku menatap kagum bangunan tinggi yang berada di sekitar sini. Kali ini adalah pertama kalinya aku berkelana ke luar negeri sekadar melepas rindu kepada seorang bassist bernama Thomas. Aku rela pergi jauh hanya untuk menemuinya lantaran rindu ini sudah menggebu meminta temu. Aku juga sudah lama menjalin kasih dengannya sejak empat tahun yang lalu. Mengabadikan momen dengan memotret atau membuat video tentang dirinya adalah hal yang tak pernah kulewatkan. Namun sepertinya, perjalananku kali ini tak akan berlangsung indah karena sedari tadi, aku tak menemukan aura kebahagiaan dari dirinya. Apakah ini hanya perasaanku saja? Ataukah memang benar dirinya tidak merasa bahagia di saat kami berjalan-jalan di tengah mewahnya kota Times Square?

"Hey, mengapa kau berdiam di situ?" ia menyadarkan lamunanku di tengah riuhnya kota. Orang-orang bertubuh tinggi bersinggungan dengan diriku yang mempunyai standar tinggi orang Indonesia.

"Hmm, aku sedang bersiap-siap untuk memotretmu." Aku beranggapan saja bahwa aku ingin memotretnya, padahal aku sedang menatap punggung seseorang yang kukagumi sejak lama.

Ia menghela napas berat dan mengembuskan asap rokok yang sedang diisapnya, "ah, sudah kuduga. Baiklah, jangan terlalu sering memotretku. Aku tak suka menebar kemesraan di media sosial. Aku ini kan public figure. Aku tak mau menambah desas-desus yang nantinya akan menjadi bahan gosip, kemudian para fans di luar sana menjadi kecewa denganku."

"Iya, aku paham. Aku hanya ingin menyimpan fotomu dikala rindu menyerbu. Memang hanya fans yang saat ini menjadi prioritasmu, aku paham." Balasku menunduk menggenggam mantel tebalku.

"Sudahlah, ayo kita kembali ke apartemen." Paksanya.

"Tapi aku masih mau jalan-jalan. Memangnya kamu tidak rindu padaku?"

"Aku lelah, besok saja, ya? Aku terlalu mabuk untuk berbicara."

"Mabuk apa? mabuk asmara? dengan siapa kau jatuhkan hatimu itu? dan, sejak kapan kau merokok? aku tak suka kau merokok. Kau bukan seperti Thomas yang kukenal dulu."

"Hey, apa urusanmu? aku sedang stress, suntuk, dan hanya butuh ketenangan. Mengapa kau melarangku untuk merokok? bahkan aku tak melakukan hal lain selain ini."

Begitulah jawaban yang dilontarkan. Ia pun mengabaikan pertanyaanku mengenai hati. Ia hanya menatapku dengan tatapan lurus yang dulu sempat membuatku jatuh hati. Belakangan ini ia selalu menghindari ajakanku. Aku tahu ia sangat sibuk dengan album barunya, terlebih lagi, grup bandnya telah berhasil mencapai peringkat satu di Billboard US. Tak heran jika dirinya menjadi sulit tuk diajak bersenda-gurau walau hanya sebentar.

"Jasmine, sudahi saja, ya?"

Jantungku mencelos ketika dirinya mengatakan hal yang paling menyeramkan bagiku.

"Tunggu, apa maksudmu? sudahi kita berkelana di Times Square?"

"Bukan, maksudku, sudahi saja semuanya. Aku lelah dengan perdebatan kita yang tiada akhirnya. Apalagi aku sekarang sudah makin sibuk. Aku takut nantinya akan tambah menyakitimu. Maka dari itu, maaf aku tak bisa lanjut. Aku tahu aku payah, tapi kumohon, mengertilah keadaanku."

"Dan.. kau menyerah begitu saja? haha, kukira kau akan mempertahankan hubungan ini selamanya. Lalu sekarang kau menyerah begitu saja. Baiklah, katakan padaku bahwa kita akan baik-baik saja setelah ini."

"Hey, dengar. Aku mohon, jangan pernah kau berkorban untukku karena itu terdengar seperti aku lelaki payah yang tak mau berkorban untuk dirimu. Kita sudah biasa menghadapi situasi seperti ini, Jasmine. Kau bisa 'kan tanpa diriku?"

"Baik, aku bisa. Padahal, kau tahu? aku sudah lama menantikan hari sial ini kemudian kita berkelana denganmu di tengah megahnya kota Times Square sembari merayakan hari kemenangan grup bandmu."

Drrt.. drrt..

Tiba-tiba ponselku berdering. Tertera nama Robert di sana. Aku menyembunyikan ponselku dengan segera. Namun aku kalah cepat dengan dirinya. Segera ia berhasil merebut ponsel itu dari genggamanku. Tatapannya berubah menjadi kecut, seakan sudah tak mau mengenaliku lagi dan benar-bear menyudahi segalanya.

"Katakan apa yang terjadi, huh?!?"

Aku hanya mematung. Ia mencengkeram bahuku sekuat tenaga. Kuakui Robert memikat dan kami sudah dekat selama delapan bulan. Ia belum mengetahui tentang hal ini, bahkan Robert sudah berencana akan melamarku. Terlalu cepat memang. Aku sendiri tertawa miris memandang diriku, aku terlihat seperti tokoh keji di film-film yang tega menusuk kekasihnya dari belakang.

"Ternyata kau lebih buruk dari yang kukira. Kau lihat, siapa yang benar-benar berdarah sekarang? oh, setelah ini kau boleh bebas mendekati dirinya dan aku bisa memastikan keadaanku akan baik-baik saja tanpamu. Mungkin aku masih di sini, di hatimu. Namun jangan harap aku akan tinggal di sana selamanya. Selamat tinggal."

Ia melepas cengkeramannya dan perlahan melangkah menjauhi diriku. Aku hanya bisa memandanginya dari kejauhan. Menyadari bahwa hubungan kami benar-benar kandas sekarang. Dan hal yang paling sulit adalah ketika aku harus membuka lembaran selanjutnya. Namun kau tak lagi tokoh yang mengisi lembaran itu. Sedang waktu tak bisa menunggu atau mengembalikan dirimu seperti sediakala.

#30DWC #30DWCJilid16 #Day23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Surat Untuk Cinyo

Surat Untuk Cinyo, Cinyo, kamu datang dengan segala keluguanmu. Aku tak ingat kapan tepatnya kamu menghampiri rumahku. Yang kutahu hanyala...