Kamis, 17 Januari 2019

Surat Untuk Cinyo

Surat Untuk Cinyo,

Cinyo, kamu datang dengan segala keluguanmu. Aku tak ingat kapan tepatnya kamu menghampiri rumahku. Yang kutahu hanyalah terdengar suara seekor kucing kecil mengeong dari kolong meja pingpong. Saat itu, aku berniat untuk menolongmu walaupun aku tidak terlalu menyukai hewan. Tetapi, aku tidak tega membiarkanmu terus-menerus kelaparan. Sampai akhirnya keesokan malam, kamu berusaha untuk menunjukan dirimu yang mungil di depan mobilku. Kamu meringkuk kedingingan meminta pertolongan. Tidak henti-hentinya kamu mengeong. Aku sempat bingung bagaimana cara untuk membuatmu nyaman. Sebenarnya, kamu sudah aman dan nyaman di pelukanku dan sepupuku. Kamu tidak akan terluka. Namun, kurasa kami tidak bisa menjagamu sepenuhnya. Penghuni rumah ini sangat sibuk. Bahkan ayahku tidak terlalu menyukai hewan. Kamu tahu? Kamu telah berhasil mencuri hatiku. Semenjak hadirnya dirimu, setiap bangun pagi perhatianku tertuju padamu. Aku langsung mencarimu karena takut hilang. Namun, nyatanya pagi itu adalah pagi yang buruk. Kamu hilang, Cinyo. Kamu pergi entah ke mana. Aku dan sepupuku panik karena tidak bisa menemukanmu. Sontak, kami sempat menjatuhkan bulir hujan dari mata ketika kamu hilang. Singkat cerita, sepupuku baru saja pulang kuliah. Ia menemukanmu kembali ke rumah. Kamu kembali, Cinyo. Itu artinya, kamu masih mengingat kami! Saat itu aku sedang dalam perjalanan pulang. Jadi, aku tidak tahu kalau kamu kembali. Tak lama kemudian, ada seorang anak kecil lelaki memakai seragam sekolah dasar. Ia tertarik denganmu, Cinyo. Ia berminat untuk merawatmu setelah sepupuku dengan berat hati menawarkan Cinyo untuk diadopsi oleh orang lain. Akhirnya, anak kecil itu meminta izin dengan ibunya, lalu membawamu pulang ke rumahnya. Kini, kita benar-benar berpisah, Cinyo. Aku tak akan bisa lagi mendengar meonganmu setiap pagi. Aku tak akan bisa lagi memberimu susu. Aku tak bisa lagi memanjakanmu, kucing kecil. Kamu pergi di saat aku sudah mulai mencintai dan menyayangimu. Namun aku sadar, cinta memang tak selamanya memiliki. Adakalanya, kita harus merelakan sesuatu yang kita sayang itu pergi. Contohnya, aku harus merelakanmu diadopsi oleh orang lain. Aku sangat sedih, Cinyo. Aku dan sepupuku sangat sedih. Maaf bila kami tidak bisa menjagamu seutuhnya. Namun, setidaknya sudah berusaha untuk membuatmu merasa nyaman walau tinggal hanya sementara di singgasanaku. Cinyo, kamu memang sudah menjadi milik orang lain, tapi kamu akan selalu terkenang di hatiku dan sepupuku. Terima kasih telah hadir walau hanya singgah sementara, kucing kecil. Semoga kamu selalu dalam keadaan baik-baik saja.

Rabu, 09 Januari 2019

Menulislah!

Berbicara mengenai menulis adalah hal yang paling kusukai. Menulis bagiku bukan hanya sebuah hobi. Namun, juga sebagai pelarian tatkala mulut tak bisa mengungkapkan apa yang ingin diutarakan. Menulis membuatku memahami tentang perasaan yang teramat dalam ketika kamu tidak dapat untuk mengutarakan sebuah rasa.

Belakangan ini, aku mengikuti program kelas menulis yang bertajuk "30 Days of Writing Challenge". Dengan mengikuti program ini, aku menjadi rutin menulis dalam 30 hari terakhir. Selalu kusempatkan untuk menulis beberapa kata agar semua rasaku dapat terkumpul menjadi satu dalam asa.

Bersama 30 Days of Writing Challenge ini pun banyak tantangannya. Salah satunya ketika aku sedang berada di luar kota saat itu, aku tetap harus tetap konsisten menulis dengan gaya penulisanku yang bergenre fiksi. Sebenarnya, susah-susah gampang ketika kamu berada di suatu keadaan yang membuatmu benar-benar tidak bisa menulis dan hanya bisa diam di depan laptop dengan layar halaman yang masih kosong. Hal itu dinamakan sebagai "writers block." Di mana, keadaan penulis sedang tidak bisa menumpahkan isi pikirannya lewat aksara. Kamu hanya perlu waktu untuk berjalan-jalan sebentar atau sembari menyesap teh hangat di sore hari bila dibutuhkan.

Yang pasti, 30 Days of Writing Challenge ini membuatku semakin membangun motivasi untuk terus-menerus membiasakan menulis setiap harinya, pula kembali membangun kebiasaan menulis tanpa henti dalam waktu 30 hari. Jangan dijadikan beban bila menulis adalah passionmu!

Dengan ini, 30 Days of Writing Challenge yang saya ikuti dinyatakan selesai! Biarpun berakhir, aku tetap tidak akan berhenti sampai di sini. Begitu juga dengan para fighters lainnya yang ikut tergabung dengan 30 Days of Writing Challenge. Ini belum berakhir, teman-teman masih bisa menulis di banyak platform dengan gaya penulisan masing-masing. Tetaplah menulis dan berkarya, karena anggaplah menulis adalah bagian dari hidup kita yang akan terus melekat di jiwa sampai kapanpun!

#30DWC #30DWCJilid16 #Day31

Selasa, 08 Januari 2019

Sweety Dinner

"Selamat datang nona cantik, silakan duduk." Aku mengambil alih kursi dan duduk di hadapannya, Calum menyapa kala diriku tiba di restoran. Ia berada di meja makan yang sudah dipesannya sejam tadi. Aku tersipu malu. Mengapa ia hobi sekali memujiku?

"Jangan me—" Ia memotong pembicaraanku begitu saja.

"Jangan terus-menerus memujiku, Cal." Ia menatapku, "itu kan yang kamu mau bilang tadi? Lantas, kalo aku senang memujimu, emang kenapa?"

"Gak apa-apa. Kalo aku merasa spesial jika berada di dekatmu, aku salah gak?"

"Gak salah dong, kan kamu pacarku."

"Tapi aku kayak ngerasa gak pan—"

"Aku sayang kamu."

"Ih, dengerin dulu. Ya, aku ini kan tadinya orang asing dan gak lama kemudian, semesta mempersatukan kita, aku bu—"

"Jasmine, please. Jangan rusak momen ini. Ini momen sakral, jarang terjadi. Kita jarang ketemu, kita bisa ketemu itu dalam jangka tiga tahun sekali. Jadi, please. Nikmati momen ini ya, I love you."

"I don't love you."

"I know you always love me, don't ever leave me, okay?"

"Okay."

"Maybe 'okay' will be our always, kalo katanya si Augustus di The Fault in Our Stars."

Aku tertawa mendengarnya, "okay."
Lalu kuabadikan dirinya dalam sebuah potret yang mengagumkan.

You are always be the most important thing in my life, Cal.

#30DWC #30DWCJilid16 #Day30

Minggu, 06 Januari 2019

And Maybe That’s What Love is Too

Hazy dreams of picturesque moments.

When I close my eyes, all I can think about is that memory that slipped through my fingers in a bright stream of colors. And sometimes I chase it, want to hold it close to my heart, keep it fresh in my mind.

But it’s no use.

Because every corner of this room reminds me of your image. And when I glance at the piano, now covered in a fine layer of dust, I can still see you sitting there, fingers flying across the keys.

I close my eyes to the phantom music, let the sound wrap around me for just a moment.

That first song you ever wrote for me — that first confession I was able to receive from someone who was worth more than gold.

You wrote me into the rhythm, every note wrapping seamlessly into the next, surpassing every measure with raw emotion.

It made me breathless.

In love.

And the feeling takes me further down to scenes that you are in. Lips curled up in small smiles, your velvet voice rolling through space, every consonant foiling those vowels.

How can I forget that?

How can I forget you?

I tell myself it’s impossible — that I can’t forget even if I want. Because even if that memory has faded, it’s not entirely gone.

And though I try my hardest to continue on without you, it’s a feat I haven’t yet succeeded in finally getting done.

They say that with time, heartbreaks heal. That everything will be alright.

But I just keep telling myself that it’s not.

That you are someone I can’t let go — that because I’ve already sold my heart and soul to you, there’s no way I can erase all the pain that’s left in those empty places.

Still, I’ll try every day to grow less fond of you, let the memories grow dimmer and dimmer.

Turn the light off at the end of the day. Go to bed with you in my mind, wake to something else, and hope it works.

The sun rises only to fall down below the horizon to make way for that luminous moon, a cold and silver thing.

And maybe that’s what love is too.

#30DWC #30DWCJilid16 #Day29

I'm Gonna Love You

You have heard stories about that kind of love
That you'll only come across once in your existence;
People keep it in photographs of white and black,
I store it in my secret bucket list of experiences.

That love that burns with passion and yet stays cool;
Downtown, that 'grow together' type –
From high school sweethearts to high end couple goals;
Rooftop soul-to-soul conversations at 3 am night.

I'm gonna love you with my vintage heart,
Take you on this fabulous journey;
I'm gonna love you with my vintage heart,
If you make and keep your promise.

Let's go dancing to a cheap club around the corner,
Till I dance out my petite mary janes;
Drive away from these streets full of stoners
To somewhere far, far away.

We'll be singing along to songs on the radio,
You'd say "I really like your feet on the dashboard"
On our ride on a brand new rolls royce,
I'd say "well anything babe, just keep your eyes on the road".

You'd never know I wished for this moment when it starts to rain
To stare at your side view exposed on the window full of drops;
Us slowly getting out of car must look like a movie scene,
You touching my face as my heartbreat seems to stop.

So here we are, it's still before midnight, gazing at the starry sky above us,
When you pull me close and welcome into your warm hugs.
The world went spinning the moment your lips crashed upon me, stealing sane from mine;
Was this all a dream that felt so real or was it reality that felt like paradise?

We're always on the go, ready to face the world,
Adventures and silly moments captured on our polaroids;
But they don't know, and I don't think they ever will
About the thing called love that we are so lucky to feel.

#30DWC #30DWCJilid16 #Day28

Sabtu, 05 Januari 2019

Racun

Di sebuah hutan belantara, aku menunggangi kudaku sembari melihat pemandangan sekitar. Hitung-hitung aku tersasar dalam hutan sebesar ini, maka aku berusaha untuk menikmatinya saja, tak perlu dibawa gusar. Di sini sangat sepi, sesekali terdengar suara katak dan jangkrik yang berbunyi di sela rerumputan. Lalu, sama-samar kudengar nyanyian indah yang bergema melalui embusan angin. Aku terperangah, dari mana asal suara itu? Sementara ini hutan belantara. Aku tak yakin ada kehidupan di hutan ini. Lalu kudekati sumber suara itu, aku melihat seorang gadis berkulit putih seperti salju, bibirnya merah seperti darah, pula rambutnya hitam layaknya kayu ebony. Mungkin kau bisa bayangkan betapa cantiknya dia. Aku bisa merasakan desiran darah yang langsung mengalir deras dalam tubuhku. Detak jantungku tidak berpacu normal seperti biasanya, degupnya seakan meronta ingin loncat. Aku tak bisa menahannya, segera kuraih tangannya yang sedingin es dan menirukan nyanyian juga gerakan dansanya. Ia terkejut begitu menemukanku menggenggam jemarinya. Ia berlari kencang ketika aku berusaha menggapainya. Aku tak paham, apakah wajahku semenyeramkan itu sehingga aku menakutinya? Padahal aku seorang pangeran yang tersasar dalam hutan.

Aku menunggu—terus menunggu kabar tentang dirinya karena yang bisa kulakukan hanyalah berdiam diri di kamar. Aku tak bisa pergi mencarinya. Raja dan Ratu menghukumku karena aku pergi keluar istana tanpa sepengetahuan mereka. Namun sayang, kabar baik itu tak pernah sampai ke telinga. Kala suatu hari aku mendengar berita yang berasal dari dalam hutan. Ternyata dewi fortuna tidak berpihak kepadaku. Gadis yang kucintai tengah koma dan terbaring lemah di rumah sakit. Ia diduga memakan pil yang berlebihan. Banyak orang yang iri pada kecantikannya sehingga menginginkan dirinya lenyap. Tak henti-hentinya hujatan itu keluar dari mulut manusia yang iri. Dari situ aku memahami bahwa ia lebih nyaman tinggal di tengah hutan daripada hidup di tengah mewahnya kota. Tak hanya itu, dugaan lainnya menyatakan bahwa ia memakan apel beracun yang diberi oleh nenek sihir. Ia terlalu baik dan terlalu percaya pada orang asing sehingga lagi-lagi ia tergelepar tak sadarkan diri. Kabar lainnya datang dari pelosok istana, prajurit mengatakan bahwa racun yang berada dalam tubuhnya sudah menggerayangi gadis itu hingga ia sudah tak bisa tertolong lagi. Jiwaku runtuh seketika, inginku berteriak sekencang-kencangnya mengalahkan petir yang menggelegar. Bahkan di situ aku belum sempat mengetahui siapa namanya. Betapa bodohnya diriku yang terlambat untuk menyadari bahwa banyak orang yang membenci dirinya sampai membuatnya frustasi. Kalau kau mengira hanya dengan satu ciuman ia akan terbangun dari tidurnya, kau salah. Itu hanya mitos belaka yang terjadi pada negeri dongeng. Inilah negeriku, di mana kebanyakan orang lebih memilih menghujat tanpa memikirkan kebenarannya. Sekarang, kau telah menjadi racun yang menyerupai manusia. Kaulah racun yang berhasil menggerogoti jiwa seseorang sampai akhirnya ia benar-benar lenyap dari kehidupan.

***
Ia sudah pergi, lantas kau mau apa?

#30DWC #30DWCJilid16 #Day27

Jumat, 04 Januari 2019

Tentang Rasa yang Berakhir (Bagian 3)

Tamat sebelum waktunya adalah cerita yg dipaksakan selesai sebelum alur ceritanya benar-benar berakhir dan hasilnya pasti akan buruk. Ceritamu pasti akan ditolak oleh penerbit mana pun. Belum apa-apa sudah gugur duluan. Begitu juga dengan dunia perteateran yang dipaksakan berakhir dan gugur lebih dahulu sebelum pentas.

Sama halnya seperti kisahku padamu yang bahkan belum sempat merajut asa. Namun, aku harus berhenti melepas rasa yang pernah ada. Perasaanku ini memang tidak tahu tempat. Aku memang salah telah menitipkan hati padamu. Itu memang salahku. Aku menitipkan rasa pada seseorang yang tentu hatinya bukan milikku dan bukan untukku. Aku membiarkan rasa yang membuatku melambung tinggi merasuki relung jiwaku tanpa izin dari sanubari.

Kini, rasa itu telah kuputus begitu saja setelah perjalanan panjang menyimpan rasa ini rapat-rapat. Kau mungkin tidak pernah merasakan bahwa menyimpan rasa sendirian itu menyakitkan. Sedikit demi sedikit, luka di hatiku mulai terobati. Entah, aku juga tidak pernah bermaksud untuk mengobatinya. Aku sengaja membiarkan luka hati ini terus-menerus menganga sampai akhirnya ia mengering sendiri. Aku tak ingin memaksakan hatiku untuk melupakannya. Aku hanya ingin menunggu waktu sampai aku benar-benar terbiasa melihat kesakitan itu di depan mataku. Sampai aku benar-benar terbiasa menikmati pemandangan yang membuat hatiku remuk ketika melihatnya pamer kemesraan di depan publik. Sampai aku.. tidak mampu lagi untuk mengucap sepatah kata.

Kini rasa itu benar-benar berakhir. Aku tak akan lagi ingin mengetahui sesuatu hal yang berbau tentangmu. Aku tak akan lagi mengisi hari-hariku hanya dengan memikirkanmu. Aku juga tak lagi keberatan bila melihatmu bermesraan dengannya. Hatiku sudah cukup terobati dengan energi positif yang menguasai diriku. Setidaknya, biarkan aku menyembuhkan lukaku yang belum benar-benar kering dengan mengisi kegiatan yang mengundang tawa di hidupku walaupun sebenarnya dibalik itu, tetaplah aku yang terluka daripada dirimu.

#30DWC #30DWCJilid16 #Day26

Kamis, 03 Januari 2019

Tentang Rasa (Bagian 2)

Hari ini rasaku tidak begitu manis seperti hari sebelumnya. Terasa sedikit hambar bila dipikir-pikir. Esok aku akan menghadapi sidang scientific writing sebagai tugas yang harus diselesaikan sebagai seorang mahasiswa aktif di perguruan tinggi, tempat di mana aku menimba ilmu. Aku memang sedikit perasa, maksudku, aku terlalu memikirkan hal apa yang akan ditanyakan besok. Aku terus saja melamun sampai sebuah jemari menepuk pundakku dari belakang.

"Hey, ngapain? Sendirian aja."

Aku yang masih terkejut hanya menatapnya lama.

"Gak usah ngeliatin gitu, nanti naksir."

Pede sekali orang ini. Mengapa ia suka sekali mengganggu waktu me time-ku.

"Kamu yang harusnya gak usah kepedean, aku gak ngeliatin kamu."

"Lha, itu tadi kamu sempat lama menatapku."

"Itu karena aku masih beradaptasi mengembalikan pikiran dari lamunan, paham gak?"

"Iya, iya. Gak usah galak gitu dong. Ya sudah, semangat ya sidangnya. Kalo udah capek, jangan dipaksain baca. Tutup bukunya, lalu tidur. Tetapi.."

"Tapi apa?"

"Jangan lupa mimpiin aku ya, karena kamu tak hanya menjadi bidadari dalam hidupku, namun juga bidadari yang menguni mimpiku. Semangat, cantik."

Ia mengacak-acak rambutku begitu selesai meggombal kemudian berjalan menjauh dari tempatku duduk.

"Oh iya, aku lupa bilang sesuatu. Besok aku akan hadir menemanimu sebagai hadiahmu tentunya." Ia berteriak setelah sekian berada jauh dariku. Aku hanya tertawa mendengarnya. Tanpa disadari, rasa manis perlahan muncul menggantikan rasa hambar yang mengisi hariku.

#30DWC #30DWCJilid16 #Day25

Rabu, 02 Januari 2019

Tentang Rasa

Orang-orang ramai berbolak-balik sepanjang lorong gedung rumah sakit. Ada yang berlari-lari karena keadaan yang genting, ada yang mengantre mengambil resep obat, ada yang bersenda-gurau, dan ada pula yang melamun sepertiku walaupun tatapanku menghadap tv yang sedang kutonton di luar ruang praktek dokter. Di sini aku tidak sendiri. Aku ditemani ia yang selalu menemaniku tanpa kupinta. Keras kepala sekali dia. Kuyakin kau akan sebal bila bertemu dengannya. Namun, dengan tingkahnya yang seperti itu ia sedikit mengisi ruang di hatiku dan menempati celah yang sudah lama kosong. Aku mengambil uang dari dompet untuk sekadar membeli air mineral. Tiba-tiba, ia menggapai jemariku.

"Mau ngapain?"

"Beli air mineral."

"Sudah, jangan, ya. Kamu duduk aja di sini. Biar aku yang beli."

Ia mengusap kepalaku dengan lembut. Aku terdiam beberapa saat. Tingkahnya membuatku melamun pada hal yang abstrak tidak bisa kupecahkan. Aku memang belum sepenuhnya membuka hati untuk dirinya. Aku belum siap untuk dikecewakan. Aku hanya ingin sendiri dulu sampai waktu datang untuk memberikan yang terbaik. Kemudian, ia datang ketika kondisiku benar-benar dalam keadaan baik. Apa iya aku sudah mulai menaruh hati padanya? Tetapi tak mungkin secepat ini. Mungkin ia hanya sedang berbaik hati padaku. Aku tidak boleh menaruh harap sedikitpun. Tetapi, apa kau tidak curiga bila ia terus-menerus ada di sisimu—di sampingmu tanpa kau pinta?

Ia berjalan ke arahku seusai membeli air mineral. Kutatap netranya yang teduh dan ia tersenyum simpul padaku. Rasa ini memang terbilang aneh. Terkadang manis, terkadang pahit, terkadang asing. Coba jelaskan, rasa apa yang sedsng tertera di hatiku? Aku memang tidak tahu apa yang ada di pikirannya, semoga saja Tuhan selalu melindungi orang baik seperti dirinya. Karena aku tidak mau ia terjebak pada ruang sedu yang ada pada diriku.

#30DWC #30DWCJilid16 #Day24

Selasa, 01 Januari 2019

Stay

Di bawah naungan gedung bertingkat New York kita berpijak. Jemari kami saling bertautan tak mau lepas. Tak henti-hentinya aku menatap kagum bangunan tinggi yang berada di sekitar sini. Kali ini adalah pertama kalinya aku berkelana ke luar negeri sekadar melepas rindu kepada seorang bassist bernama Thomas. Aku rela pergi jauh hanya untuk menemuinya lantaran rindu ini sudah menggebu meminta temu. Aku juga sudah lama menjalin kasih dengannya sejak empat tahun yang lalu. Mengabadikan momen dengan memotret atau membuat video tentang dirinya adalah hal yang tak pernah kulewatkan. Namun sepertinya, perjalananku kali ini tak akan berlangsung indah karena sedari tadi, aku tak menemukan aura kebahagiaan dari dirinya. Apakah ini hanya perasaanku saja? Ataukah memang benar dirinya tidak merasa bahagia di saat kami berjalan-jalan di tengah mewahnya kota Times Square?

"Hey, mengapa kau berdiam di situ?" ia menyadarkan lamunanku di tengah riuhnya kota. Orang-orang bertubuh tinggi bersinggungan dengan diriku yang mempunyai standar tinggi orang Indonesia.

"Hmm, aku sedang bersiap-siap untuk memotretmu." Aku beranggapan saja bahwa aku ingin memotretnya, padahal aku sedang menatap punggung seseorang yang kukagumi sejak lama.

Ia menghela napas berat dan mengembuskan asap rokok yang sedang diisapnya, "ah, sudah kuduga. Baiklah, jangan terlalu sering memotretku. Aku tak suka menebar kemesraan di media sosial. Aku ini kan public figure. Aku tak mau menambah desas-desus yang nantinya akan menjadi bahan gosip, kemudian para fans di luar sana menjadi kecewa denganku."

"Iya, aku paham. Aku hanya ingin menyimpan fotomu dikala rindu menyerbu. Memang hanya fans yang saat ini menjadi prioritasmu, aku paham." Balasku menunduk menggenggam mantel tebalku.

"Sudahlah, ayo kita kembali ke apartemen." Paksanya.

"Tapi aku masih mau jalan-jalan. Memangnya kamu tidak rindu padaku?"

"Aku lelah, besok saja, ya? Aku terlalu mabuk untuk berbicara."

"Mabuk apa? mabuk asmara? dengan siapa kau jatuhkan hatimu itu? dan, sejak kapan kau merokok? aku tak suka kau merokok. Kau bukan seperti Thomas yang kukenal dulu."

"Hey, apa urusanmu? aku sedang stress, suntuk, dan hanya butuh ketenangan. Mengapa kau melarangku untuk merokok? bahkan aku tak melakukan hal lain selain ini."

Begitulah jawaban yang dilontarkan. Ia pun mengabaikan pertanyaanku mengenai hati. Ia hanya menatapku dengan tatapan lurus yang dulu sempat membuatku jatuh hati. Belakangan ini ia selalu menghindari ajakanku. Aku tahu ia sangat sibuk dengan album barunya, terlebih lagi, grup bandnya telah berhasil mencapai peringkat satu di Billboard US. Tak heran jika dirinya menjadi sulit tuk diajak bersenda-gurau walau hanya sebentar.

"Jasmine, sudahi saja, ya?"

Jantungku mencelos ketika dirinya mengatakan hal yang paling menyeramkan bagiku.

"Tunggu, apa maksudmu? sudahi kita berkelana di Times Square?"

"Bukan, maksudku, sudahi saja semuanya. Aku lelah dengan perdebatan kita yang tiada akhirnya. Apalagi aku sekarang sudah makin sibuk. Aku takut nantinya akan tambah menyakitimu. Maka dari itu, maaf aku tak bisa lanjut. Aku tahu aku payah, tapi kumohon, mengertilah keadaanku."

"Dan.. kau menyerah begitu saja? haha, kukira kau akan mempertahankan hubungan ini selamanya. Lalu sekarang kau menyerah begitu saja. Baiklah, katakan padaku bahwa kita akan baik-baik saja setelah ini."

"Hey, dengar. Aku mohon, jangan pernah kau berkorban untukku karena itu terdengar seperti aku lelaki payah yang tak mau berkorban untuk dirimu. Kita sudah biasa menghadapi situasi seperti ini, Jasmine. Kau bisa 'kan tanpa diriku?"

"Baik, aku bisa. Padahal, kau tahu? aku sudah lama menantikan hari sial ini kemudian kita berkelana denganmu di tengah megahnya kota Times Square sembari merayakan hari kemenangan grup bandmu."

Drrt.. drrt..

Tiba-tiba ponselku berdering. Tertera nama Robert di sana. Aku menyembunyikan ponselku dengan segera. Namun aku kalah cepat dengan dirinya. Segera ia berhasil merebut ponsel itu dari genggamanku. Tatapannya berubah menjadi kecut, seakan sudah tak mau mengenaliku lagi dan benar-bear menyudahi segalanya.

"Katakan apa yang terjadi, huh?!?"

Aku hanya mematung. Ia mencengkeram bahuku sekuat tenaga. Kuakui Robert memikat dan kami sudah dekat selama delapan bulan. Ia belum mengetahui tentang hal ini, bahkan Robert sudah berencana akan melamarku. Terlalu cepat memang. Aku sendiri tertawa miris memandang diriku, aku terlihat seperti tokoh keji di film-film yang tega menusuk kekasihnya dari belakang.

"Ternyata kau lebih buruk dari yang kukira. Kau lihat, siapa yang benar-benar berdarah sekarang? oh, setelah ini kau boleh bebas mendekati dirinya dan aku bisa memastikan keadaanku akan baik-baik saja tanpamu. Mungkin aku masih di sini, di hatimu. Namun jangan harap aku akan tinggal di sana selamanya. Selamat tinggal."

Ia melepas cengkeramannya dan perlahan melangkah menjauhi diriku. Aku hanya bisa memandanginya dari kejauhan. Menyadari bahwa hubungan kami benar-benar kandas sekarang. Dan hal yang paling sulit adalah ketika aku harus membuka lembaran selanjutnya. Namun kau tak lagi tokoh yang mengisi lembaran itu. Sedang waktu tak bisa menunggu atau mengembalikan dirimu seperti sediakala.

#30DWC #30DWCJilid16 #Day23

Late Night Talks

"Hai gadis manis." Ia berbicara melalui telepon genggam dari pulau seberang. Aku gembira ketika melihat namanya tertera di layar ponsel. Suara seraknya terdengar sangat lelah. Tak biasanya ia menelponku malam-malam begini. Biasanya kita hanya berkabar melalui teks pesan. Karena setahuku ia sedang sibuk menjalankan tugasnya di Jayapura. Dengan jarak tempuh sejauh ini kita hanya bertukar pesan alakadarnya saja. Aku percaya ia akan baik-baik saja di sana.

"Oh, hai. Tumben telepon, ada apa?" tanyaku pada intinya.

"Kangen."

"Ini sudah malam lho di tempatmu. Di Jakarta masih jam 9, di tempatmu jam 11. Tidur sana, besok kerja lagi. Nanti capek."

"Nggak, aku mau dengar suaramu sebentar. Untuk pengantar tidurku, boleh kan?"

"Nggak boleh."

"Jahat ih, ya sudah aku matiin ya teleponnya."

"Eehh jangaan.." teriakku begitu ia mengancam untuk mematikan telepon.

"Hahaha, kangen juga kan akhirnya." Kita diam beberapa menit karena kehabisan topik. Kemudian ia bersuara, menyadarkanku dari lamunan, "eh, kamu gak kangen aku?" aku hanya terkikik mendengarnya. Pertanyaan macam apa itu. Sudah pasti aku merindukannya, tak perlu ditanya lagi.

"Perlu jawaban gak?"

"Hmm, gak usah deh. Aku yakin kamu kangen. Hahaha."

"Dih, geer banget. Kalau nggak, gimana? Haha. Ya sudah gih tidur sana. Gak berasa udah jam 10 nih ngantuk. Pasti di tempatmu sudah jam 12 lebih."

Selang beberapa menit, terdengar suara dengkuran dari telepon. Kurasa ia hanya berpura-pura tidur untuk mengerjaiku.

"Yah ditinggalin. Baiklah, kamu sudah tidur. Akan kumatikan teleponnya."

"Baaa! Tunggu ih jangan dimatiin. Kan belum aku suruh matiin."

"Eehh masih nyaut ternyata hahaha. Gak jelas ih buruan. Ngantuk nih."

"Haha, ya sudah. Selamat tidur ya gadis manis. Jangan lupa pakai Nature Republic Aloeveranya sebelum tidur. Jangan lupa cuci muka, ibadah, berdoa juga. Lho, kok aku jadi hafal kebiasaanmu ya? Okay, I will meet you in a dream. And I will make sure you are safe there."

"Thank you. Have a sweet dream too." Andai ia bisa melihatku malam ini, aku pasti malu. Wajahku memerah ketika ia mengingat setiap detail kebiasaan yang kulakukan tiap akan tidur. Padahal ini bukan kali pertama ia berbicara seperti itu. Ia juga sangat melindungiku ketika kita berada di tempat umum. Namun bukan berarti ia protektif atau posesif. Katanya, ia hanya tak mau terjadi sesuatu denganku. Aku jadi merasa seperti anak kecil yang sedang dilindungi oleh orang tua. Ia hanya terkikik ketika aku bercerita tentang hal ini. Telepon genggam pun kumatikan. Kurasa, malam ini kan menjadi malam yang indah sebab ini kali pertama kita berbicara dari jarak kejauhan tanpa harus ada kecurigaan.

#30DWC #30DWCJilid16 #Day22

Surat Untuk Cinyo

Surat Untuk Cinyo, Cinyo, kamu datang dengan segala keluguanmu. Aku tak ingat kapan tepatnya kamu menghampiri rumahku. Yang kutahu hanyala...