Sabtu, 22 Agustus 2015

Girl of My Dreams



Ayam berkokok tanda pagi hari sudah datang. Sinar matahari mulai muncul di ufuk timur. Embun dan udara sejuk pun menyeruak. Efranda yang baru saja terbangun dari tidurnya pun masih enggan untuk beranjak dari tempat tidurnya. Dengan malas, akhirnya ia terpaksa bangun dan melihat jam dinding dikamarnya. Dilihatnya jam itu, ia terbelalak melihat sudah pukul berapa sekarang.
Pukul 06.30,bel sekolah telah berbunyi dan sekarang ia masih berkutat dengan segala hal yang belum ia lakukan sebelum berangkat ke sekolah. Alhasil, ia pun terlambat dan dihukum oleh guru piket yang bertugas dihari itu, untung saja ia tak dipulangkan kembali. Padahal Efranda adalah gadis berprestasi di sekolah ini, SMA Nusantara. Tak heran banyak yang mengagumi dirinya, entah itu para gadis atau para lelaki, termasuk aku adalah lelaki yang mengagumi dirinya.
*********
Semuanya dimulai pada saat kali pertama aku melihatnya di lorong sekolah, ia menyendiri dengan asyiknya tanpa memperhatikan lingkungan sekitar, ia berkutik dengan laptopnya untuk menyelesaikan karyanya yang akan ia kirimkan ke sebuah redaksi. Saat itu, aku tidak berani menegurnya. Jangankan untuk menegur, menatap matanya untuk beberapa menit saja tidak bisa. Aku benar – benar malu. Bukan, malu disini bukan berarti aku malu untuk menyukai gadis seperti dia, tetapi, aku malu untuk sekedar berbicara padanya. karena aku adalah siswa yang tak cukup terkenal dan tak banyak kegiatan, sedangkan ia aktif dalam segala bidang, tak hanya pintar tetapi juga ramah.
Sesaat, ia menoleh ke arahku dengan tatapan penuh tanda tanya. Aku yakin ia heran melihat tingkahku yang hanya diam tanpa berkata-kata. Akhirnya yang ditunggu-tunggu pun tiba, ia melontarkan sebuah pertanyaan, “Kau? Sedang apa disini? Jangan karena aku sibuk berkutik dengan laptop kau kira aku tak tahu sedari tadi ada yang memperhatikanku.”
Deg! Aku kaget mendengar ia berkata begitu, bahkan aku tak tahu ekspresi wajahku seperti apa saat tertangkap basah kalau aku sedang memperhatikannya. “eh.. duh.. hmm, tadi gua ga sengaja lewat sini dan gua liat lo lagi serius banget. Lagi ngerjain tugas ya?” Lagi – lagi pertanyaan bodoh yang ku lontarkan. Sudah tahu ia sedang mengerjakan sesuatu, aku malah menanyakan hal yang tak penting. “Ya, kamu benar. Tapi kamu gatau kan aku lagi ngerjain apa.” Aku hanya tersenyum melihat gadis itu, dan kemudian ia menanyakan namaku.
“ohya, by the way nama kamu siapa? Kayaknya aku jarang liat kamu deh.” “haha mungkin emang elo nya yang jarang ngeliat gue, karena gue jarang aktif sama kegiatan sekolah, nama gue Zendico Mahera. Kalo lo males manggil Zendico, panggil aja Zen.” “oke, kalo gitu senang bisa kenalan sama kamu, aku Efranda Carissa Adinaya. Panggil aja Franda.” Aku bergumam dalam hati, sebenarnya aku sudah mengenal gadis itu semenjak ia ditunjuk jadi MC sekolah untuk acara pensi. Tetapi apalah daya, aku hanya ingin mengenal gadis ini lebih dalam. Aku pun membalasnya dengan anggukan, dan setelah itu aku kembali ke kelas, dan meninggalkannya sendirian.
                                                    *****
“Will you stay awake for me, i don’t wanna miss anything.....”
Efranda menyenandungkan lagu Awake dari Secondhand Serenade sambil berbaring melihat awan dibawah pohon di taman sekolah yang terletak di sebelum tempat parkiran. Angin berhembus membuatnya terkantuk. Lagi – lagi ia menyendiri. Ia memang menyukai kesunyian, tetapi ia benci menjadi sendirian. Ia menyendiri karena ada suatu hal yang tak bisa ia ceritakan pada siapapun. Termasuk sahabatnya sendiri. Tetapi Helen sahabatnya sangat mengerti Efranda. Betapa beruntungnya ia. Aku ingin menghampirinya, tetapi hatiku mengatakan tidak. Karena percuma saja, jika aku menghampirinya, mau bicara apa nanti. Beberapa menit kemudian, ia berdiri untuk masuk ke dalam kelas. Helen sedari tadi sibuk mencari Efranda. “Hoi, Fran. Dari tadi lo kemana aja sih? Gue nyariin lo tau, gue mau nanya pelajaran tapi lo malah hilang entah kemana ckck.”  “Ohya? Sorry aku abis dari taman, kamu tau kan aku kayak gimana.” “Iya gue tau, tapi lo juga jangan terus terusan menghindar dong. Kalo caranya kaya gini, mereka malah tambah seneng dan lo tuh terkesan ga punya temen nantinya. Padahal sebenernya temen lo banyak. Udah deh coba lo ceritain yang sebenernya ke gua. Gua kan kenal lo udah dari kelas satu, masa lo ga percaya juga sama gue.” “Iya, sorry ya sampe saat ini aku belum bisa ceita yang sesugguhnya. Seriusan kalo aku udah siap pasti bakal cerita kok.” “Oke, tapi awas aja kalo hal ini jadi pengganggu prestasi lo ya.” “haha nggak kok. Makasih banget ya.”
Efranda hanya terdiam setelah ia berbincang – bincang dengan Helen. Ada benarnya juga omongan Helen. Ia tak boleh berlama – lama berdiam diri seolah memasrahkan apapun yang terjadi. Aku ingin menjadi orang yang ingin membuatnya tersenyum. Maka aku membuat sebuah pesawat kecil yang terbuat dari kertas dan selalu menyisipkan pesawat kecil itu ke dalam tas nya ketika ia sedang  keluar kelas.                                         *****
Cuaca pagi ini lumayan gelap dan tidak mendukung sehingga membuat Efranda malas untuk berangkat sekolah. Tetapi untuk bisa menjadi kebanggaan orang tuanya tidaklah mudah. Ia adalah seorang anak tunggal yang kesepian. Perlahan, rintik hujan pun mulai turun membasahi bumi. Efranda buru – buru mengambil payung dan segera berangkat sekolah dengan menggunakan bus. Untungnya keadaan di dalam bus tersebut sepi, dan Efranda tidak perlu berdesak – desakan dengan penumpang lain untuk merebutkan tempat duduk.
Aku yang baru saja memarkir sepeda motorku di lapangan sekolah menjadi terburu – buru karena hujan semakin deras. Tiba – tiba aku melihat seorang gadis berlari – lari kecil menghampiri gerbang sekolah sambil memegangi sebuah payung.  Aku menghampirinya dan menyambutnya, membuatnya tersenyum kecil sehingga aku dapat melihat wajahnya dengan sedekat mungkin. Ia membalasku dengan sapaan yang hangat. Lantas, kami berdua berjalan menuju kelas dan kemudian berpisah di pertigaan lorong karena kelas kami berbeda. Ia hanya berkata senang bertemu denganmu pagi ini sebelum ia menuju kelasnya. Oh my god! Senang sekali rasanya.
Tiba saatnya aku menyisipkan pesawat kecil di dalam tasnya ketika ia sedang pergi ke kantin bersama Helen. Aku buru – buru menuliskan sebuah kata – kata di dalam pesawat kecil itu. “Hai, my little angel. Apa kabarmu hari ini? Mungkin kau tak akan tahu aku siapa. Tapi yang jelas, aku sangat menyayangimu sewaktu kali pertama aku melihatmu di hari itu. Kau bagaikan sinar rembulan yang menyinariku di malam hari  disaat kegelapan mulai datang. Bye : anonymous”
Segera aku menyisipkan ke dalam tas nya dan tak lupa membuat sebuah pesawat kecil. Lalu aku memberi tahu kepada teman yang ada dikelasnya bahwa jangan pernah memberitahu siapa penulis surat pesawat kecil yang misterius itu dan mereka semua setuju. Yess!! Misi ku berhasil! Aku yakin, Efranda pasti akan senang dan sangat penasaran siapakah penulis pesawat kecil yang misterius itu. Lalu aku segera pergi dari tempat itu dan bersikap bukan aku yang mengirim surat itu untuknya.
Hari – hari berikutnya pun aku mengiriminya lagi. Saat ia sedang menyendiri di taman, aku melempar pesawat kecil itu dan ia kembali terheran – heran, tetapi kali ini senyumannya berbeda dan tampak tulus, yang bertuliskan “Efranda Carissa Adinaya. Adalah nama yang indah. Gadis yang membuatku jatuh hati pada saat kali pertama aku melihatmu sewaktu kau menjadi MC di acara pensi sekolah. Kau yang membuat hidupku lebih berwarna. Dan darimu, aku mengerti apa itu cinta. Bye : anonymous.”
                                                        *****
Hari minggu adalah hari yang paling ditunggu oleh setiap orang. Karena, di hari minggu mereka akan bersenang – senang dengan keluarga, teman, dan yang lainnya. Disudut kota Jakarta sudah dipenuhi oleh kendaraan yang berlalu lalang melintasi jalan raya tersebut. Hari ini aku mengajak Efranda untuk berjalan – jalan mengitari kota Jakarta. Dengan keberanian akhirnya aku bisa mengajaknya keluar untuk sekedar berjalan berdua dengan mengendarai mobilku. Walaupun kondisi jalanan tampak krodit, aku dan Efranda tetap menikmati momen ini. Dalam kesunyian, Efranda memecahkan keheningan didalam mobil. “Zen, kau benar – benar berani mengajakku berjalan – jalan, kau tahu? Selama ini tak ada seorang lelaki yang berani mengajakku jalan. Kebanyakan dari mereka hanya ingin mendapatkan hartaku dan mereka mencintaiku karena wajahku, bukan apa adanya diriku. Mereka bahkan tak tahu banyak tentang diriku. Tapi kamu, berani mengajakku berjalan dan aku pun.. menyetujuinya.”  Sesaat aku diam mematung tak berbicara, tak berusaha membuka percakapan dan membalas perkataan gadis itu. Tetapi aku terus meliriknya melalui ekor mataku, dan perlahan mulai berbicara. “Fran, kau tahu? Hari ni aku mengajakmu jalan karena aku ingin mengenal dirimu lebih jauh. Ya kalau kamu menolak ajakan ku tak apa, tetapi satu hal yang harus kau tahu. Aku menerimamu apa adanya, dan aku tak peduli orang – orang mau bicara apa. Asal aku tetap denganmu.” Ia tersipu malu mendengar jawabannku. “Thanks Zen, ku rasa tak lama lagi aku akan jatuh cinta padamu.” Oh my god!! ngomong apa dia barusan? Nampaknya jantugku mulai berdetak tak karuan karena mendengar perkataannya tadi. “Zen, apa kau tahu? Selama ini kenapa aku selalu berdiam diri tanpa bergabung dengan yang lain meskipun aku tahu aku punya kemampuan di bidang akademik dan membuat semua mata tertuju padaku. Dibalik semua itu ada alasannya Zen.” Oke, sepertinya dia mulai curhat padaku. “Memang benar, aku tahu pasti ada sesuatu dibalik semua ini Fran, kalau kau tak keberatan kau bisa cerita padaku.” Dan ia mulai bercerita, “Aku takut kelebihanku membuat mereka para gadis lain iri padaku. Aku takut mereka menyebar gosip yang tak benar tentang ku. Dan aku ini lemah Zen, aku lemah. Aku punya penyakit yang dari dulu sudah menggerogoti tubuhku. Dan maka dari itu aku tak pernah mau disaat ada pria yang menyatakan cinta padaku. Karena aku tahu, mereka hanya menyukai wajahku dan hartaku. Bukan diriku yang sebenarnya. Aku sebenarnya emosi ketika mereka yang lain bisa tertawa lepas sedangkan aku.. aku tak tahu kapan aku bisa terbaring lagi dirumah sakit. Aku iri Zen!” Franda diam – diam terisak dengan tangisannya. Aku mencoba untuk menyingkirkan mobilku dari keramaian dan membawanya ke pinggir jalanan. “Franda, sudahlah.. tak perlu menyesali hal itu. Kalau kau ingin curhat, kau bisa panggil aku atau menelponku. Kapan saja kau butuh, aku selalu bersedia untukmu. Kapanpun itu.” Franda masih saja terisak dengan tangisannya, aku mencoba menenangkannya dengan membelai rambutnya yang terurai.                                                               ******
Mobil pun melaju lagi, suasana sudah menjadi tak enak ketika Efranda mulai mencurahkan isi hatinya padaku. Aku hanya ingin yang terbaik untuknya. Aku menurunkannya di depan gerbang rumahnya, ia berkata bahwa ia merasa nyaman ketika berada didekatku akhir – akhir ini. Sungguh itu membuatku bahagia. Hari – hari berikutnya aku tetap mengirimkan pesawat kecil itu dan kembali menyisipkannya ke dalam tasnya. Aku menyukai cara ia tersenyum. Ada lesung di pipinya sewaktu ia tersenyum dan tertawa, membuatnya terlihat lebih manis. Suatu ketika, saat ia sedang rapat osis ia terlihat letih. Aku mengintipnya dari balik jendela pintu. Tetapi ia terus berjuang, padahal aku tahu sebenarnya ia lemah. Sebentar saja aku lengah dalam memperhatikannya, ia terjatuh pingsan. Orang – orang didalam sana terlihat panik. Aku langsung tak tinggal diam. Aku membawanya kerumah sakit terdekat dan membiarkannya memasuki ruang UGD. Tubuhnya terlihat sangat lemas dan panas. Ya Tuhan, aku khawatir akan keadaannya. Ruang UGD belum juga terbuka sejak sepuluh menit yang lalu. Membuatku tampak lebih khawatir. Dari kejauhan, aku melihat seorang gadis berambut pendek berlari –lari dengan ekspresi kaget dan menghampiriku. Yang tak lain adalah Helen, sahabat Efranda.
 “Hei, kudengar kau yang membawa Efranda kesini? Dimana dia sekarang? Ceritakan padaku apa yang terjadi please.”  Helen terlihat panik, sama sepertiku. Tapi aku heran, ia adalah sahabat Efranda. Harusnya ia tahu yang dialami Efranda selama ini. Tetapi mengapa ekspresi diwajahnya menunjukkan bahwa ia sama sekali tak tahu apa –apa soal ini. “Efranda pingsan.” “Ya aku tahu Efranda pingsan, tapi pingsan kenapa? Kenapa dia tak memberi tahu ku sedikitpun tentangnya. Padahal aku sudah bersamanya sejak kelas sepuluh dan kau, kau baru kenal dengan Efranda hanya akhir – akhir ini. Tetapi kenapa kau yang dikasih tahu paling pertama?” Helen malah memarahiku, aku diam saja, mungkin gadis itu hanya panik karena mendengar Efranda jatuh pingsan. Daripada aku berbicara, lebih baik aku diam tanpa kata. Beberapa menit kemudian, pintu ruangan UGD pun terbuka,  dan tanpa sengaja aku dan Helen berbicara bersamaan. Ia hanya menatapku dengan tatapan jengkel. Salah apa sih aku ini sampai – sampai Helen menatapku dengan tatapan tak wajar seolah aku orang asing yang baru bersekolah disekolahnya selama satu hari. Dokter hanya berbicara bahwa Efranda hanya kecapaian, dan ia hanya butuh istirahat. Maka kami pun dipersilahkan memasuki ruangan itu. Kutatap gadis itu dengan lembut dan ia tersenyum padaku. Sementara Helen terus berbicara sendiri, tapi yang jelas ia menyindirku. Kurasa dia tak suka dengan keberadaanku disini. “Hai, udah baikkan?” ku tanya padanya dan ia mengangguk, “Kamu tak senang ada aku disini Fran? Aku Helen, sahabatmu itu.” Rupanya Helen tak mau kalah dariku, ia mencoba untuk menghalangiku berbicara dengan Efranda sementara dia dengan banyak omongnya bercerita dengan Efranda sampai membuat Efranda pusing akan celotehannya. “Helen, sudahlah.. kayaknya Franda mulai bosan mendengarkan celotehanmu yang tak penting itu.” “Zen, ga usah banyak omong lo, gua lagi ngomong sama Franda, ngerti?” aku hanya tertawa melihat helen bebicara seperti itu. Ternyata tanpa dugaanku, aku berhasil memasuki kehidupan mereka, kehidupan Efranda yang selama ini membuat hari – hariku menjadi lebih semangat. Sementara mereka sedang bercengkrama, aku izin keluar sebentar untuk ke toilet, padahal sebenarnya aku keluar untuk membuat pesawat kecil dan tak lupa menulis pesan untuknya.
                                                                 ******
Hari ini Efranda berulang tahun ke – 18. Aku ingin dihari istimewanya ini memberikan sesuatu yang berharga untuknya. Tanpa ia tahu, aku sudah mempesiapkan semuanya dari mulai tempat, tata ruangan, makanan dan minuman, dan segala yang menyangkut tentang cafe itu. Bisa dibilang, aku orangnya sedikit romantis, tetapi aku tak pandai berkata kata saat bertatapan langsung dengannya. Yang ku mampu hanyalah menuliskan sebait demi bait kemudian terbentuklah sebuah sajak.
Tepat di malam hari setelah Efranda dinyatakan boleh kembali pulang kerumah, aku mengajaknya makan malam bersama di sebuah cafe tak jauh dari rumah Efranda. Tetapi aku jamin, tempat dan suasananya sangat mendukung. Apalagi sudah di desain sedemikian rupa sehingga tampak membuat cafe itu lebih indah, cafe ala London yang tampak serba gelap dengan didominasi warna hitam, tetapi setelan lagu – lagu yang mengalun indah dari dalam cafe itu mengundang para tamu untuk masuk kedalamnya. Apalagi cafe ini mempunyai empat lantai dengan tema yang berbeda. lantai satu bertema Halloween, lantai dua bertema party, lantai tiga bertema beach, dan lantai empat bertema glamournya sebuah istana. Hebat sekali bukan? Tak heran jika tempat ini mengundang banyak wisata kuliner dan tamu – tamu remaja yang kebanyakan hanya ingin menikmati keindahan cafe bersama teman – teman, maupun keluarga. Termasuk aku yang mengajak Efranda untuk dinner malam ini. 
Efranda mengenakan dress berwarna hitam dengan rambutnya yang di model kepang Braided Headband membuatnya sedikit eksotik dan telihat anggun, sedangkan aku hanya memakai jas hitam dan kemeja putih agar penampilanku terlihat macthing dengannya. Dan membawanya ke lantai satu yang bertema Halloween. Ia sangat senang saat aku membawanya masuk ke dalam cafe itu. Ia bahkan langsung memesan sebuah makanan di cafe itu, ia memesan Fried Beef with Melted Cheese London yang rasanya sangat menggoda di lidah, dan aku hanya memesan pasta Lasagna yang sudah cukup mengisi perutku. Setelah kami menghabiskan masakan tadi, kami sempat bersenda gurau. Membicarakan kejadian – kejadian lucu yang terjadi disekolah, hal – hal yang membuat ia berbunga – bunga sewaktu ia mendapat sepucuk bunga mawar dan surat cinta di lokernya walaupun itu sukses membuatku cemburu, tapi tak apa. Aku hanya temannya yang diam – diam menyukainya tanpa sedikitpun memberi tahu gadis itu tentang perasaanku ini. Dan kemudian kami beranjak dari tempat itu menuju rumah Efranda.
Hangat. Itulah yang kurasakan sekarang. Saat bersamanya membuatku bahagia, tenteram, dan nyaman. Aku selalu memberikan senyuman kepada gadis itu agar ia tahu aku sangat menyayangi dirinya, aku selalu membuatkan kejutan kecil dengan memberinya sebuah pesawat yang terbuat dari kertas berisikan kata – kata romantis yang membuat pipinya merona dan kemudian tersenyum. Gadis mana sih yang tak meleleh hatinya saat dikirimi surat romantis seperti ini? Aku berusaha untuk selalu ada disisinya ketika ia merasa tak tahu harus bercerita kepada siapa. Dan aku juga yang membawanya kerumah sakit ketika ia pingsan waktu itu.
                                                *******
Hari ini aku berangkat pagi sekali ke sekolah, dan cuacanya juga sangat cerah seperti suasana hatiku pagi ini. Aku ingin menulis sebuah surat di pesawat kecil itu. Dan isinya :
Aku sangat menyukai senja.
Entah kenapa, disaat aku menatap senja hatiku selalu merasa nyaman dan tenteram.
Matahari perlahan mulai terbenam memancarkan cahaya bias oranye yang membuat langit begitu lembut seperti hatimu.
Awan – awan mulai berarak, mengikuti arah angin yang berhembus begitu cepat dan membuatku merasa sejuk disaat kau berada didekatku.
Aku menyenandungkan sebuah lagu.
Lagu yang ku persembahkan hanya untukmu.
Dengan alunan sebuah gitar.
Dan berkata, aku menyayangimu.
Tiba – tiba, sebuah tangan menarik kertas itu dengan cepat dan hampir membuat kertas itu sobek. Aku kaget setengah mati. Aku tak mau surat itu dibaca dan diketahui oleh orang lain, terutama Efranda.
“Heh, ngapain lo nulis beginian buat Efranda? Lo suka sama dia?” Suara Helen memecahkan keheningan pada saat itu. “Eh.. hmm sok tau banget sih lo. Jangan kepo deh.” Aku berpura – pura seakan surat itu bukan untuk Efranda. “Halah, jangan bohong. Gue tau ini buat Efranda. Sebenernya gua udah lama tau kalo lo naksir dia kan. Tapi gua mencoba buat diam aja. Gua mau tau seberapa berani sih lo nembak dia. Ehh taunya belom berhasil nembak. Haha takut lo ya? Cupu banget.” Aku kesal dengan perkataan Helen tadi. Aku merasa kalau aku memang pengecut. Tetapi aku tak akan seperti itu. “Hel, denger ya. Lo itu ga tau apa – apa tentang masalah ini. Dan please jangan kasih tau hal ini dulu ke dia.” “Kenapa sih kalo dia tau? Lo takut ketauan kalo lo suka sama dia? Yaelah masih aja takut lo jaman kayak gini ckck.” “Helen, gua cuma mau dia tau langsung dari mulut gua. Bukan mulut orang lain walaupun lo sahabatnya dia.” “Yaudah kalo gitu lo tembak dong. Gue ga mau dia sakit hati atau ngerasa digantungin. Kalo lo ngelakuin itu, gue bakalan marah banget sama lo.” “Oke, gua bakal cari waktu yang tepat dan mohon lo tetep tutup mulut.” “Iya, gue bakal tutup mulut. Gue janji.”
Aku memantapkan hatiku bahwa hari ini aku akan menyatakan perasaanku pada Efranda. Aku harap ia bisa menerimaku. Dan aku mengajaknya sepulang sekolah ke pantai. Tak lupa aku meneleponnya saat pulang sekolah.                    
                                                       *********
Sore ini aku mengajaknya ke sebuah pantai. Dengan suasana senja yang menyelimuti pantai pada hari itu dan aku membiarkan hatiku berdegup kencang. Efranda kebingungan melihatku yang seperti orang linglung. “Zen, kau kenapa? Kau sakit? Kok kayak orang lemes gitu sih?”
“Duh.. ngga Fran, aku emang kayak gini kalo lagi degdegan.” “Hah degdegan kenapa?” “Degdegan karena ada lo disamping gue.” “Haha, bisa aja kamu. Padahal kita kan udah seing jalan berdua. Kenapa degdegannya baru sekarang?” Oke, aku abaikan pertanyaan Efranda tadi yang membuatku sedikit kacau. Sejenak aku berhenti disebuah pondok yang terletak ditepi pantai dan menatapnya dari dekat.
“Fran, lo tau ga. Kenapa gua suka banget sama senja?”  “Kenapa emang?” “Karena, senja itu memancarkan cahaya bias oranye yang sangat lembut seperti gadis yang lagi duduk disamping gua ini.” Efranda terenyak dan menatapku kebingungan. “Maksudnya apa? Aku ga ngerti.” “Lo adalah gadis yang gua sayang sejak kali pertama gua ngeliat lo Fran.” Aku memberikan surat yang sudah berada dalam genggamanku dan langsung memberinya. “Ini apa Zen?” “Lo buka nya pas sampe rumah lo aja ya, please. Kalo lo udah baca, lo telpon gua langsung. Oke?” Ia masih terlihat kebingungan. Dan akhirnya mengiyakan permintaanku.
                                                                *******
Sedan merah berhenti di sebuah kawasan Kebayoran Baru. Efranda mengucapkan terimakasih dan mengucapkan salam lalu masuk kedalam rumah. Entah apa reaksinya saat membuka surat dariku itu. Tak lama aku bergegas pergi dari rumahnya, ia menelponku dan berkata “I LOVE YOU TOO ZENDICO MAHERA.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Surat Untuk Cinyo

Surat Untuk Cinyo, Cinyo, kamu datang dengan segala keluguanmu. Aku tak ingat kapan tepatnya kamu menghampiri rumahku. Yang kutahu hanyala...