Ayam berkokok tanda pagi hari sudah
datang. Sinar matahari mulai muncul di ufuk timur. Embun dan udara sejuk pun
menyeruak. Efranda yang baru saja terbangun dari tidurnya pun masih enggan
untuk beranjak dari tempat tidurnya. Dengan malas, akhirnya ia terpaksa bangun
dan melihat jam dinding dikamarnya. Dilihatnya jam itu, ia terbelalak melihat
sudah pukul berapa sekarang.
Pukul 06.30,bel sekolah telah
berbunyi dan sekarang ia masih berkutat dengan segala hal yang belum ia lakukan
sebelum berangkat ke sekolah. Alhasil, ia pun terlambat dan dihukum oleh guru
piket yang bertugas dihari itu, untung saja ia tak dipulangkan kembali. Padahal
Efranda adalah gadis berprestasi di sekolah ini, SMA Nusantara. Tak heran
banyak yang mengagumi dirinya, entah itu para gadis atau para lelaki, termasuk
aku adalah lelaki yang mengagumi dirinya.
*********
Semuanya dimulai pada saat kali
pertama aku melihatnya di lorong sekolah, ia menyendiri dengan asyiknya tanpa
memperhatikan lingkungan sekitar, ia berkutik dengan laptopnya untuk
menyelesaikan karyanya yang akan ia kirimkan ke sebuah redaksi. Saat itu, aku
tidak berani menegurnya. Jangankan untuk menegur, menatap matanya untuk
beberapa menit saja tidak bisa. Aku benar – benar malu. Bukan, malu disini
bukan berarti aku malu untuk menyukai gadis seperti dia, tetapi, aku malu untuk
sekedar berbicara padanya. karena aku adalah siswa yang tak cukup terkenal dan
tak banyak kegiatan, sedangkan ia aktif dalam segala bidang, tak hanya pintar
tetapi juga ramah.
Sesaat, ia menoleh ke arahku
dengan tatapan penuh tanda tanya. Aku yakin ia heran melihat tingkahku yang
hanya diam tanpa berkata-kata. Akhirnya yang ditunggu-tunggu pun tiba, ia
melontarkan sebuah pertanyaan, “Kau? Sedang apa disini? Jangan karena aku sibuk
berkutik dengan laptop kau kira aku tak tahu sedari tadi ada yang
memperhatikanku.”
Deg! Aku kaget mendengar ia
berkata begitu, bahkan aku tak tahu ekspresi wajahku seperti apa saat
tertangkap basah kalau aku sedang memperhatikannya. “eh.. duh.. hmm, tadi gua
ga sengaja lewat sini dan gua liat lo lagi serius banget. Lagi ngerjain tugas
ya?” Lagi – lagi pertanyaan bodoh yang ku lontarkan. Sudah tahu ia sedang
mengerjakan sesuatu, aku malah menanyakan hal yang tak penting. “Ya, kamu
benar. Tapi kamu gatau kan aku lagi ngerjain apa.” Aku hanya tersenyum melihat
gadis itu, dan kemudian ia menanyakan namaku.
“ohya, by the way nama kamu siapa? Kayaknya aku jarang liat kamu deh.”
“haha mungkin emang elo nya yang jarang ngeliat gue, karena gue jarang aktif
sama kegiatan sekolah, nama gue Zendico Mahera. Kalo lo males manggil Zendico,
panggil aja Zen.” “oke, kalo gitu senang bisa kenalan sama kamu, aku Efranda
Carissa Adinaya. Panggil aja Franda.” Aku bergumam dalam hati, sebenarnya aku
sudah mengenal gadis itu semenjak ia ditunjuk jadi MC sekolah untuk acara
pensi. Tetapi apalah daya, aku hanya ingin mengenal gadis ini lebih dalam. Aku
pun membalasnya dengan anggukan, dan setelah itu aku kembali ke kelas, dan
meninggalkannya sendirian.
*****
“Will you stay awake for me, i
don’t wanna miss anything.....”
Efranda menyenandungkan lagu Awake dari Secondhand Serenade sambil berbaring
melihat awan dibawah pohon di taman sekolah yang terletak di sebelum tempat
parkiran. Angin berhembus membuatnya terkantuk. Lagi – lagi ia menyendiri. Ia
memang menyukai kesunyian, tetapi ia benci menjadi sendirian. Ia menyendiri
karena ada suatu hal yang tak bisa ia ceritakan pada siapapun. Termasuk
sahabatnya sendiri. Tetapi Helen sahabatnya sangat mengerti Efranda. Betapa
beruntungnya ia. Aku ingin menghampirinya, tetapi hatiku mengatakan tidak.
Karena percuma saja, jika aku menghampirinya, mau bicara apa nanti. Beberapa
menit kemudian, ia berdiri untuk masuk ke dalam kelas. Helen sedari tadi sibuk
mencari Efranda. “Hoi, Fran. Dari tadi lo kemana aja sih? Gue nyariin lo tau,
gue mau nanya pelajaran tapi lo malah hilang entah kemana ckck.” “Ohya? Sorry aku abis dari taman, kamu tau kan
aku kayak gimana.” “Iya gue tau, tapi lo juga jangan terus terusan menghindar
dong. Kalo caranya kaya gini, mereka malah tambah seneng dan lo tuh terkesan ga
punya temen nantinya. Padahal sebenernya temen lo banyak. Udah deh coba lo
ceritain yang sebenernya ke gua. Gua kan kenal lo udah dari kelas satu, masa lo
ga percaya juga sama gue.” “Iya, sorry ya sampe saat ini aku belum bisa ceita
yang sesugguhnya. Seriusan kalo aku udah siap pasti bakal cerita kok.” “Oke,
tapi awas aja kalo hal ini jadi pengganggu prestasi lo ya.” “haha nggak kok.
Makasih banget ya.”
Efranda hanya terdiam setelah ia
berbincang – bincang dengan Helen. Ada benarnya juga omongan Helen. Ia tak
boleh berlama – lama berdiam diri seolah memasrahkan apapun yang terjadi. Aku
ingin menjadi orang yang ingin membuatnya tersenyum. Maka aku membuat sebuah
pesawat kecil yang terbuat dari kertas dan selalu menyisipkan pesawat kecil itu
ke dalam tas nya ketika ia sedang keluar
kelas. *****
Cuaca pagi ini lumayan gelap dan
tidak mendukung sehingga membuat Efranda malas untuk berangkat sekolah. Tetapi
untuk bisa menjadi kebanggaan orang tuanya tidaklah mudah. Ia adalah seorang
anak tunggal yang kesepian. Perlahan, rintik hujan pun mulai turun membasahi
bumi. Efranda buru – buru mengambil payung dan segera berangkat sekolah dengan
menggunakan bus. Untungnya keadaan di dalam bus tersebut sepi, dan Efranda
tidak perlu berdesak – desakan dengan penumpang lain untuk merebutkan tempat
duduk.
Aku yang baru saja memarkir
sepeda motorku di lapangan sekolah menjadi terburu – buru karena hujan semakin
deras. Tiba – tiba aku melihat seorang gadis berlari – lari kecil menghampiri
gerbang sekolah sambil memegangi sebuah payung. Aku menghampirinya dan menyambutnya,
membuatnya tersenyum kecil sehingga aku dapat melihat wajahnya dengan sedekat
mungkin. Ia membalasku dengan sapaan yang hangat. Lantas, kami berdua berjalan
menuju kelas dan kemudian berpisah di pertigaan lorong karena kelas kami
berbeda. Ia hanya berkata senang bertemu denganmu pagi ini sebelum ia menuju
kelasnya. Oh my god! Senang sekali rasanya.
Tiba saatnya aku menyisipkan
pesawat kecil di dalam tasnya ketika ia sedang pergi ke kantin bersama Helen.
Aku buru – buru menuliskan sebuah kata – kata di dalam pesawat kecil itu. “Hai, my little angel. Apa kabarmu hari ini?
Mungkin kau tak akan tahu aku siapa. Tapi yang jelas, aku sangat menyayangimu
sewaktu kali pertama aku melihatmu di hari itu. Kau bagaikan sinar rembulan
yang menyinariku di malam hari disaat kegelapan
mulai datang. Bye : anonymous”
Segera aku menyisipkan ke dalam
tas nya dan tak lupa membuat sebuah pesawat kecil. Lalu aku memberi tahu kepada
teman yang ada dikelasnya bahwa jangan pernah memberitahu siapa penulis surat
pesawat kecil yang misterius itu dan mereka semua setuju. Yess!! Misi ku
berhasil! Aku yakin, Efranda pasti akan senang dan sangat penasaran siapakah
penulis pesawat kecil yang misterius itu. Lalu aku segera pergi dari tempat itu
dan bersikap bukan aku yang mengirim surat itu untuknya.
Hari – hari berikutnya pun aku
mengiriminya lagi. Saat ia sedang menyendiri di taman, aku melempar pesawat
kecil itu dan ia kembali terheran – heran, tetapi kali ini senyumannya berbeda
dan tampak tulus, yang bertuliskan “Efranda
Carissa Adinaya. Adalah nama yang indah. Gadis yang membuatku jatuh hati pada
saat kali pertama aku melihatmu sewaktu kau menjadi MC di acara pensi sekolah.
Kau yang membuat hidupku lebih berwarna. Dan darimu, aku mengerti apa itu
cinta. Bye : anonymous.”
*****
Hari minggu adalah hari yang paling
ditunggu oleh setiap orang. Karena, di hari minggu mereka akan bersenang –
senang dengan keluarga, teman, dan yang lainnya. Disudut kota Jakarta sudah
dipenuhi oleh kendaraan yang berlalu lalang melintasi jalan raya tersebut. Hari
ini aku mengajak Efranda untuk berjalan – jalan mengitari kota Jakarta. Dengan
keberanian akhirnya aku bisa mengajaknya keluar untuk sekedar berjalan berdua
dengan mengendarai mobilku. Walaupun kondisi jalanan tampak krodit, aku dan
Efranda tetap menikmati momen ini. Dalam kesunyian, Efranda memecahkan
keheningan didalam mobil. “Zen, kau benar – benar berani mengajakku berjalan –
jalan, kau tahu? Selama ini tak ada seorang lelaki yang berani mengajakku
jalan. Kebanyakan dari mereka hanya ingin mendapatkan hartaku dan mereka
mencintaiku karena wajahku, bukan apa adanya diriku. Mereka bahkan tak tahu
banyak tentang diriku. Tapi kamu, berani mengajakku berjalan dan aku pun..
menyetujuinya.” Sesaat aku diam mematung
tak berbicara, tak berusaha membuka percakapan dan membalas perkataan gadis
itu. Tetapi aku terus meliriknya melalui ekor mataku, dan perlahan mulai
berbicara. “Fran, kau tahu? Hari ni aku mengajakmu jalan karena aku ingin
mengenal dirimu lebih jauh. Ya kalau kamu menolak ajakan ku tak apa, tetapi
satu hal yang harus kau tahu. Aku menerimamu apa adanya, dan aku tak peduli
orang – orang mau bicara apa. Asal aku tetap denganmu.” Ia tersipu malu
mendengar jawabannku. “Thanks Zen, ku rasa tak lama lagi aku akan jatuh cinta
padamu.” Oh my god!! ngomong apa dia barusan? Nampaknya jantugku mulai berdetak
tak karuan karena mendengar perkataannya tadi. “Zen, apa kau tahu? Selama ini
kenapa aku selalu berdiam diri tanpa bergabung dengan yang lain meskipun aku
tahu aku punya kemampuan di bidang akademik dan membuat semua mata tertuju
padaku. Dibalik semua itu ada alasannya Zen.” Oke, sepertinya dia mulai curhat
padaku. “Memang benar, aku tahu pasti ada sesuatu dibalik semua ini Fran, kalau
kau tak keberatan kau bisa cerita padaku.” Dan ia mulai bercerita, “Aku takut
kelebihanku membuat mereka para gadis lain iri padaku. Aku takut mereka
menyebar gosip yang tak benar tentang ku. Dan aku ini lemah Zen, aku lemah. Aku
punya penyakit yang dari dulu sudah menggerogoti tubuhku. Dan maka dari itu aku
tak pernah mau disaat ada pria yang menyatakan cinta padaku. Karena aku tahu,
mereka hanya menyukai wajahku dan hartaku. Bukan diriku yang sebenarnya. Aku sebenarnya
emosi ketika mereka yang lain bisa tertawa lepas sedangkan aku.. aku tak tahu
kapan aku bisa terbaring lagi dirumah sakit. Aku iri Zen!” Franda diam – diam
terisak dengan tangisannya. Aku mencoba untuk menyingkirkan mobilku dari
keramaian dan membawanya ke pinggir jalanan. “Franda, sudahlah.. tak perlu
menyesali hal itu. Kalau kau ingin curhat, kau bisa panggil aku atau
menelponku. Kapan saja kau butuh, aku selalu bersedia untukmu. Kapanpun itu.”
Franda masih saja terisak dengan tangisannya, aku mencoba menenangkannya dengan
membelai rambutnya yang terurai.
******
Mobil pun melaju lagi, suasana sudah
menjadi tak enak ketika Efranda mulai mencurahkan isi hatinya padaku. Aku hanya
ingin yang terbaik untuknya. Aku menurunkannya di depan gerbang rumahnya, ia
berkata bahwa ia merasa nyaman ketika berada didekatku akhir – akhir ini.
Sungguh itu membuatku bahagia. Hari – hari berikutnya aku tetap mengirimkan
pesawat kecil itu dan kembali menyisipkannya ke dalam tasnya. Aku menyukai cara
ia tersenyum. Ada lesung di pipinya sewaktu ia tersenyum dan tertawa,
membuatnya terlihat lebih manis. Suatu ketika, saat ia sedang rapat osis ia
terlihat letih. Aku mengintipnya dari balik jendela pintu. Tetapi ia terus
berjuang, padahal aku tahu sebenarnya ia lemah. Sebentar saja aku lengah dalam
memperhatikannya, ia terjatuh pingsan. Orang – orang didalam sana terlihat
panik. Aku langsung tak tinggal diam. Aku membawanya kerumah sakit terdekat dan
membiarkannya memasuki ruang UGD. Tubuhnya terlihat sangat lemas dan panas. Ya
Tuhan, aku khawatir akan keadaannya. Ruang UGD belum juga terbuka sejak sepuluh
menit yang lalu. Membuatku tampak lebih khawatir. Dari kejauhan, aku melihat
seorang gadis berambut pendek berlari –lari dengan ekspresi kaget dan
menghampiriku. Yang tak lain adalah Helen, sahabat Efranda.
“Hei, kudengar kau yang membawa Efranda
kesini? Dimana dia sekarang? Ceritakan padaku apa yang terjadi please.” Helen terlihat panik, sama sepertiku. Tapi aku
heran, ia adalah sahabat Efranda. Harusnya ia tahu yang dialami Efranda selama
ini. Tetapi mengapa ekspresi diwajahnya menunjukkan bahwa ia sama sekali tak
tahu apa –apa soal ini. “Efranda pingsan.” “Ya aku tahu Efranda pingsan, tapi
pingsan kenapa? Kenapa dia tak memberi tahu ku sedikitpun tentangnya. Padahal
aku sudah bersamanya sejak kelas sepuluh dan kau, kau baru kenal dengan Efranda
hanya akhir – akhir ini. Tetapi kenapa kau yang dikasih tahu paling pertama?”
Helen malah memarahiku, aku diam saja, mungkin gadis itu hanya panik karena
mendengar Efranda jatuh pingsan. Daripada aku berbicara, lebih baik aku diam
tanpa kata. Beberapa menit kemudian, pintu ruangan UGD pun terbuka, dan tanpa sengaja aku dan Helen berbicara
bersamaan. Ia hanya menatapku dengan tatapan jengkel. Salah apa sih aku ini
sampai – sampai Helen menatapku dengan tatapan tak wajar seolah aku orang asing
yang baru bersekolah disekolahnya selama satu hari. Dokter hanya berbicara
bahwa Efranda hanya kecapaian, dan ia hanya butuh istirahat. Maka kami pun
dipersilahkan memasuki ruangan itu. Kutatap gadis itu dengan lembut dan ia
tersenyum padaku. Sementara Helen terus berbicara sendiri, tapi yang jelas ia
menyindirku. Kurasa dia tak suka dengan keberadaanku disini. “Hai, udah
baikkan?” ku tanya padanya dan ia mengangguk, “Kamu tak senang ada aku disini
Fran? Aku Helen, sahabatmu itu.” Rupanya Helen tak mau kalah dariku, ia mencoba
untuk menghalangiku berbicara dengan Efranda sementara dia dengan banyak
omongnya bercerita dengan Efranda sampai membuat Efranda pusing akan
celotehannya. “Helen, sudahlah.. kayaknya Franda mulai bosan mendengarkan
celotehanmu yang tak penting itu.” “Zen, ga usah banyak omong lo, gua lagi
ngomong sama Franda, ngerti?” aku hanya tertawa melihat helen bebicara seperti
itu. Ternyata tanpa dugaanku, aku berhasil memasuki kehidupan mereka, kehidupan
Efranda yang selama ini membuat hari – hariku menjadi lebih semangat. Sementara
mereka sedang bercengkrama, aku izin keluar sebentar untuk ke toilet, padahal
sebenarnya aku keluar untuk membuat pesawat kecil dan tak lupa menulis pesan
untuknya.
******
Hari ini Efranda berulang tahun
ke – 18. Aku ingin dihari istimewanya ini memberikan sesuatu yang berharga
untuknya. Tanpa ia tahu, aku sudah mempesiapkan semuanya dari mulai tempat,
tata ruangan, makanan dan minuman, dan segala yang menyangkut tentang cafe itu.
Bisa dibilang, aku orangnya sedikit romantis, tetapi aku tak pandai berkata
kata saat bertatapan langsung dengannya. Yang ku mampu hanyalah menuliskan
sebait demi bait kemudian terbentuklah sebuah sajak.
Tepat di malam hari setelah
Efranda dinyatakan boleh kembali pulang kerumah, aku mengajaknya makan malam
bersama di sebuah cafe tak jauh dari rumah Efranda. Tetapi aku jamin, tempat
dan suasananya sangat mendukung. Apalagi sudah di desain sedemikian rupa sehingga
tampak membuat cafe itu lebih indah, cafe ala London yang tampak serba gelap
dengan didominasi warna hitam, tetapi setelan lagu – lagu yang mengalun indah
dari dalam cafe itu mengundang para tamu untuk masuk kedalamnya. Apalagi cafe
ini mempunyai empat lantai dengan tema yang berbeda. lantai satu bertema
Halloween, lantai dua bertema party, lantai tiga bertema beach, dan lantai
empat bertema glamournya sebuah istana. Hebat sekali bukan? Tak heran jika
tempat ini mengundang banyak wisata kuliner dan tamu – tamu remaja yang
kebanyakan hanya ingin menikmati keindahan cafe bersama teman – teman, maupun
keluarga. Termasuk aku yang mengajak Efranda untuk dinner malam ini.
Efranda mengenakan dress berwarna
hitam dengan rambutnya yang di model kepang Braided Headband membuatnya sedikit
eksotik dan telihat anggun, sedangkan aku hanya memakai jas hitam dan kemeja
putih agar penampilanku terlihat macthing dengannya. Dan membawanya ke lantai
satu yang bertema Halloween. Ia sangat senang saat aku membawanya masuk ke
dalam cafe itu. Ia bahkan langsung memesan sebuah makanan di cafe itu, ia
memesan Fried Beef with Melted Cheese London yang rasanya sangat menggoda di
lidah, dan aku hanya memesan pasta Lasagna yang sudah cukup mengisi perutku.
Setelah kami menghabiskan masakan tadi, kami sempat bersenda gurau.
Membicarakan kejadian – kejadian lucu yang terjadi disekolah, hal – hal yang
membuat ia berbunga – bunga sewaktu ia mendapat sepucuk bunga mawar dan surat
cinta di lokernya walaupun itu sukses membuatku cemburu, tapi tak apa. Aku
hanya temannya yang diam – diam menyukainya tanpa sedikitpun memberi tahu gadis
itu tentang perasaanku ini. Dan kemudian kami beranjak dari tempat itu menuju
rumah Efranda.
Hangat. Itulah yang kurasakan
sekarang. Saat bersamanya membuatku bahagia, tenteram, dan nyaman. Aku selalu
memberikan senyuman kepada gadis itu agar ia tahu aku sangat menyayangi
dirinya, aku selalu membuatkan kejutan kecil dengan memberinya sebuah pesawat
yang terbuat dari kertas berisikan kata – kata romantis yang membuat pipinya
merona dan kemudian tersenyum. Gadis mana sih yang tak meleleh hatinya saat
dikirimi surat romantis seperti ini? Aku berusaha untuk selalu ada disisinya
ketika ia merasa tak tahu harus bercerita kepada siapa. Dan aku juga yang
membawanya kerumah sakit ketika ia pingsan waktu itu.
*******
Hari
ini aku berangkat pagi sekali ke sekolah, dan cuacanya juga sangat cerah
seperti suasana hatiku pagi ini. Aku ingin menulis sebuah surat di pesawat
kecil itu. Dan isinya :
Aku sangat menyukai senja.
Entah kenapa, disaat aku menatap
senja hatiku selalu merasa nyaman dan tenteram.
Matahari perlahan mulai terbenam
memancarkan cahaya bias oranye yang membuat langit begitu lembut seperti
hatimu.
Awan – awan mulai berarak, mengikuti
arah angin yang berhembus begitu cepat dan membuatku merasa sejuk disaat kau
berada didekatku.
Aku menyenandungkan sebuah lagu.
Lagu yang ku persembahkan hanya
untukmu.
Dengan alunan sebuah gitar.
Dan berkata, aku menyayangimu.
Tiba – tiba, sebuah tangan
menarik kertas itu dengan cepat dan hampir membuat kertas itu sobek. Aku kaget
setengah mati. Aku tak mau surat itu dibaca dan diketahui oleh orang lain,
terutama Efranda.
“Heh,
ngapain lo nulis beginian buat Efranda? Lo suka sama dia?” Suara Helen
memecahkan keheningan pada saat itu. “Eh.. hmm sok tau banget sih lo. Jangan
kepo deh.” Aku berpura – pura seakan surat itu bukan untuk Efranda. “Halah,
jangan bohong. Gue tau ini buat Efranda. Sebenernya gua udah lama tau kalo lo
naksir dia kan. Tapi gua mencoba buat diam aja. Gua mau tau seberapa berani sih
lo nembak dia. Ehh taunya belom berhasil nembak. Haha takut lo ya? Cupu
banget.” Aku kesal dengan perkataan Helen tadi. Aku merasa kalau aku memang
pengecut. Tetapi aku tak akan seperti itu. “Hel, denger ya. Lo itu ga tau apa –
apa tentang masalah ini. Dan please
jangan kasih tau hal ini dulu ke dia.” “Kenapa sih kalo dia tau? Lo takut
ketauan kalo lo suka sama dia? Yaelah masih aja takut lo jaman kayak gini
ckck.” “Helen, gua cuma mau dia tau langsung dari mulut gua. Bukan mulut orang
lain walaupun lo sahabatnya dia.” “Yaudah kalo gitu lo tembak dong. Gue ga mau
dia sakit hati atau ngerasa digantungin. Kalo lo ngelakuin itu, gue bakalan
marah banget sama lo.” “Oke, gua bakal cari waktu yang tepat dan mohon lo tetep
tutup mulut.” “Iya, gue bakal tutup mulut. Gue janji.”
Aku memantapkan hatiku bahwa hari
ini aku akan menyatakan perasaanku pada Efranda. Aku harap ia bisa menerimaku.
Dan aku mengajaknya sepulang sekolah ke pantai. Tak lupa aku meneleponnya saat
pulang sekolah.
*********
Sore ini aku mengajaknya ke
sebuah pantai. Dengan suasana senja yang menyelimuti pantai pada hari itu dan
aku membiarkan hatiku berdegup kencang. Efranda kebingungan melihatku yang
seperti orang linglung. “Zen, kau kenapa? Kau sakit? Kok kayak orang lemes gitu
sih?”
“Duh..
ngga Fran, aku emang kayak gini kalo lagi degdegan.” “Hah degdegan kenapa?” “Degdegan
karena ada lo disamping gue.” “Haha, bisa aja kamu. Padahal kita kan udah seing
jalan berdua. Kenapa degdegannya baru sekarang?” Oke, aku abaikan pertanyaan
Efranda tadi yang membuatku sedikit kacau. Sejenak aku berhenti disebuah pondok
yang terletak ditepi pantai dan menatapnya dari dekat.
“Fran,
lo tau ga. Kenapa gua suka banget sama senja?” “Kenapa emang?” “Karena, senja itu memancarkan
cahaya bias oranye yang sangat lembut seperti gadis yang lagi duduk disamping
gua ini.” Efranda terenyak dan menatapku kebingungan. “Maksudnya apa? Aku ga
ngerti.” “Lo adalah gadis yang gua sayang sejak kali pertama gua ngeliat lo
Fran.” Aku memberikan surat yang sudah berada dalam genggamanku dan langsung
memberinya. “Ini apa Zen?” “Lo buka nya pas sampe rumah lo aja ya, please. Kalo
lo udah baca, lo telpon gua langsung. Oke?” Ia masih terlihat kebingungan. Dan
akhirnya mengiyakan permintaanku.
*******
Sedan merah berhenti di sebuah
kawasan Kebayoran Baru. Efranda mengucapkan terimakasih dan mengucapkan salam
lalu masuk kedalam rumah. Entah apa reaksinya saat membuka surat dariku itu.
Tak lama aku bergegas pergi dari rumahnya, ia menelponku dan berkata “I LOVE YOU TOO ZENDICO MAHERA.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar